Jakarta,TAMBANG,- Sedang marak diberitakan tentang produsen mobil listrik Tesla yang membeli nikel asal Indonesia dari dua perusahaan asal Cina yakni Zhejiang Huayou Cobalt Co. dan CNGR Advanced Material Co. Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah Tesla menandatangani kerja sama dengan kedua perusahaan asal Cina tersebut untuk memasok Prekursor terner atau koktail kimia yang sangat penting untuk menyimpan energi dalam baterai lithium-ion. Prekursor merupakan bahan olahan nikel yang menjadi bahan baku baterai.
Dua perusahaan tersebut telah dan sedang membangun smelter di Indonesia yakni di Morowali. CNG Advanced Material Co. juga akan membangun kawasan industri di Kalimantan Selatan. Terlepas dari sikap pro dan kontra yang berkembang di masyarakat, semua sepakat bahwa Tesla harus membangun pabrik pengolahan di Indonesia.
“Dalam konteks bisnis, bagaimanapun sebagai produsen mobil listrik utama di dunia, Tesla pasti membutuhkan pasokan nikel jangka panjang. Dalam hal ini hampir pasti Tesla mau tidak mau harus mengandalkan suplai dari Indonesia sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia. Akan tetapi, seberapa jauh atau dalam keterlibatan Tesla dalam rantai pasok nikel di Indonesia itu sangat tergantung dari potensi risiko dan mitigasi yg telah disiapkan,”ungkap Jannus TH Siahaan.
Jannus adalah Doktor sosiologi dengan topik riset tentang model ideal penyelesaian konflik sosial di wilayah lingkar tambang antara industri dan masyarakat lokal. Menurutnya semakin dangkal keterlibatan Tesla, maka semakin panjang rantai pasok nikel Indonesia hingga ke konsumennya. Bagi Tesla ini juga akan meningkatkan biaya bahan baku.
“Sebaliknya, semakin jauh atau dalam keterlibatan Tesla, maka semakin pendek rantai pasok nikel Indonesia hingga ke konsumennya. Bagi Tesla ini juga akan memangkas biaya suplai bahan baku,”tandasnya yang hampir 20 tahun berkecimpung di Industri pertambangan nikel,batu bara dan emas.
Oleh karenanya Ia melihat pihak baik Indonesia sebagai pemilik bahan baku maupun Tesla sebagai pengguna mempunyai kepentingan yang sama untuk memperpendek rantai pasok. “Tapi mengapa ini belum bisa diwujudkan?”tanya Jannus retoris.
Menurutnya harus dimengerti bahwa semakin dalam keterlibatan Tesla maka akan semakin besar biaya investasinya, juga risiko yg dihadapi. Dan yang paling jelas adalah risiko lingkungan.
Ia pun membeberkan beberapa fakta. Belakangan ini semakin ramai kampanye negatif terhadap produksi nikel Indonesia yang merusak lingkungan. Pemberitaan negatif ini bahkan sangat berbobot karena disertai hasil investigasi lapangan dengan menyertakan bukti-bukti degradasi lingkungan akibat penambangan nikel.
Beberapa minggu lalu koalisi NGO internasional, termasuk beberapa dari Indonesia, bahkan menyurati Tesla untuk tidak membeli nikel dari Indonesia karena mayoritas dilakukan secara tidak bertanggung jawab dan merusak lingkungan.
Sayangnya sampai hari ini ungkap Jannus, pemerintah Indonesia tidak berbuat banyak, sebanyak yang seharusnya. Kementerian ESDM nyaris tidak melakukan inovasi kebijakan apa pun untuk mempercepat laju rehabilitasi lahan bekas tambang. “Tidak ada bukti-bukti konkrit yang terverifikasi dan bisa dikomunikasikan ke publik terkait pencapaian perlindungan lingkungan dan rehabilitasi lahan tambang. Mereka hanya terpaku dengan jargon praktek-praktek pertambangan yang baik (good mining practices), yang minim keberhasilan implementasi terutama di sektor lingkungan hidup,”tandas Jannus yang saat ini menjadi Tenaga Ahli dan Peneliti pada LSM IISM (Indonesian Initiative for Sustainable Mining– Inisiatif Indonesia untuk Tambang Berkelanjutan).
Pada tahun 2020 misalnya, Kementerian ESDM dengan bangga merilis keberhasilan reklamasi bekas tambang seluas 9.694 Ha, jauh di atas target yang ditentukan sebesar 7.000 Ha. Namun sayangnya data ini tidak dapat diverifikasi lokasinya di mana saja dan bukti-bukti keberhasilannya seperti apa. Data ini juga sangat subyektif karena tidak didampingi oleh informasi luas atau laju lahan yang dibuka akibat pertambangan.
Sementara itu, data kementerian ESDM pada tahun yang sama menunjukkan bahwa jumlah izin pertambangan logam dan batu bara yang berstatus operasi produksi adalah sekitar 2.000-3.000 perusahaan. Artinya dengan data reklamasi yang ada, kalaupun itu benar, maka rata rata perusahaan melakukan reklamasi sebesar kurang lebih 3-4 hektar per tahun.
Sebagai informasi, bukaan tambang nikel hari ini, untuk perusahaan skala kecil dengan produksi 150rb-500 rb ton per tahun berkisar antara 5-15 Ha per tahun, dan untuk skala menengah dengan produksi 500rb-800rb ton per tahun mencapai sekitar 15-25 Ha per tahun.
“Ini artinya pencapaian reklamasi yang didengung-dengungkan tersebut sesungguhnya jauh dari kata berhasil. Dan jika tidak ada perubahan yang mendasar maka sampai kapan pun tidak akan pernah berhasil. Mendekati pun mungkin hanya mimpi,”ungkap Jannus.
Hal ini membuat negara pun seolah tidak berdaya dengan kampanye negatif tentang tambang di Indonesia. Investor seperti Tesla akhirnya pasti memilih bermain aman untuk tidak masuk terlalu jauh dalam rantai pasok nikel, khawatir akan mendapat tekanan yang lebih keras dari konsumen dan para pemegang saham mereka karena dianggap membeli nikel dari para penambang yg hanya merusak lingkungan.
Secara akumulatif, kita terperangkap pada situasi di mana proses tata kelola dan tata niaga nikel berjalan dengan sangat tidak efisien. Situasi ini hanya menguntungkan para pemburu rente dan kapitalis oligarki. Dengan keistimewaan (previlege) dan akses yg tidak terbatas, mereka bebas mempermainkan aliran bisnis sumber daya alam sesuka hati mereka, bahkan kalau perlu secara terang terangan mengolok ngolok kedaulatan negeri ini.
Sementara negara dan masyarakat terus mendapatkan tekanan dan dipaksa menanggung residu beban kerusakan lingkungan yg terus terjadi tanpa kendali. “Semoga situasi ini bukan sengaja diciptakan sebagai bagian dari perang asimetri dalam rangka geopolitik global dan tanpa sadar kita sudah terjebak di dalamnya. Sehingga yang melecehkan posisi Indonesia siapa sebenarnya? Apakah Tesla melalui keputusan bisnisnya, perusahaan Cina yang juga punya keputusan bisnis sendiri, atau kita sendiri yang buruk dalam tata kelola minerba?,”pungkasnya.