Jakarta-TAMBANG.Pemerintah sedang mencari cara agar segera memberi kepastian investasi pada PT Freeport Indonesia. Kepastian yang dimaksud tidak lain perpanjangan hak pengelolaan tambang Freeport di Timika, Papua pasca berakhirnya masa kontrak 2021. Apalagi perusahaan ini hadir dengan janji nilai investasi yang cukup besar. Tidak tanggung-tanggung perusahaan asal Amerika Serikat itu mengimingi Indonesia dengan investasi sebesar US$18 miliar atau Rp 234 triliun.
Dana sebesar itu akan digunakan untuk mengembangkan tambang bawah tanah di Papua dan pembangunan pabrik pemurnian tembaga (smelter) di Gresik, Jawa Timur. Tidak hanya itu perusahaan juga sepakat untuk beralih dari rezim kontrak menjadi rezin perizinan dalam bentuk IUPK setelah masa kontrak berakhir. Salah satu produsen tembaga terbesar dunia ini juga telah menyepakati 15 dari 17 item yang disodorkan Pemerintah.
Janji investasi yang demikian besar ini seolah membuat Pemerintah mulai tergoda. Munculah upaya untuk segera memberi kepastian berupa perpanjangan kontrak. Ini terlihat dari komentar Menteri ESDM Sudirman Said ketika menafsir arahan Presiden Joko Widodo setelah bertemu Jim R. Moffet.
“Signalnya sudah jelas bahwa Pemerintah beritikad menjaga kelangsungan operasi PTFI di Timika, dengan penekanan agar keberadaan mereka (PTFI) harus dapat memberi manfaat maksimal bagi pembangunan kawasan Papua dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Hanya saja, kita harus mencari momentum yang tepat dan mencari solusi hukum agar Peraturan Pemerintah No. 77 tahun 2014 tidak dilanggar”, tegas Menteri ESDM.
Mencari solusi hukum ini kemudian ditafsir sebagai upaya untuk merevisi regulasi yang dinilai menghambat.
Terkait hal ini, Pengamat pertambangan Budi Santoso mengingatkan Pemerintah untuk tidak tersandera oleh rencana investasi Freeport. “Pemerintah hendaknya tidak disandera oleh rencana membangun smelter dan dana US$15 miliar. Jangan sampai dengan alasan tersebut, Pemerintah mempercepat perpanjangan kontrak,”kata Budi.
Pembanguan smelter menurut Budi merupakan amanat UU Minerba dan seharusnya sudah dibangun lima tahun yang lalu. Oleh karenanya tidak ada alasan bagi Freeport meminta percepat perpanjangan kontrak dengan alasan membangun smelter. Budi menilai Freeport sebenarnya sudah banyak tidak memenuhi permintaan Pemerintah Indonesia termasuk soal smelter dan negosiasi kontrak. “Harusnya Pemerintah Indonesia bisa menjadikan presedent of event untuk tidak memperpanjang kontrak Freeport,”ungkap Budi yang sering disapa Disan ini.
Tidak hanya itu, Pemerintah juga diminta agar lebih berhati-hati mengambil kebijakan karena berpotensi melanggar aturan. Secara regulasi pengajuan perpanjangan baru bisa diajukan dua tahun sebelum berakhirnya masa kontrak. Artinya baru dilaksanakan pada tahun 2019 karena masa kontraknya berakhir pada 2021.
Sejauh ini sesuai UU Minerba mekanisme perpanjangan kontrak dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama dengan status IUPK, perusahaan akan diperpanjang dengan status IUP yang hanya bisa 2×10 tahun. “Tidak bisa sekaligus 20 tahun. Atau Kontrak karya diputus, dikembalikan ke negara dan dikelola oleh negara, bisa juga diserahkan ke BUMN atau dilelang,”terang Disan sambil menambahkan tidak ada lagi alasan modal dan teknologi.
Budi yang lama bergelut sebagai konsultan ini mengatakan investasi sebesar US$15 miliar selama 20 tahun nilainya lebih kecil dibanding gross profit Freeport 50% dari US$5 miliar . Ia pun menyayangkan adanya pernyataan Pemerintah yang menyatakan nasionalisme sempit dalam menanggapi keinginan public untuk mengambilalih Freeport sama dengan melecehkan UU Negara sendiri dan itu tidakl layak muncul dari pernyataan sebagai otoritas negara.