Jakarta, TAMBANG – Komisi VII DPR-RI dan Pemerintah telah menyepakati asumsi makro Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2021 untuk sektor energi, dalam rapat kerja yang diselenggarakan pada Senin (29/6/2020) kemarin.
Poin-poin yang disepakati terkait RAPBN 2021 di sektor energi, dinilai cukup realistis dan bisa dijalankan pemerintah, terutama di masa-masa pemulihan ekonomi nasional, yang sesuai prediksi para ekonom akan terjadi di 2021 mendatang.
Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan menilai beberapa poin utama seperti asumsi soal Indonesian Crude Price (ICP), jumlah lifting minyak dan gas (migas) hingga besaran cost recovery yang dibutuhkan pemerintah, untuk mengakomodir kegiatan hulu migas di 2021 dianggap cukup realistis dan targetnya tidak menyulitkan untuk dicapai.
“Saya melihatnya bahwa asumsi yang dibangun merupakan asumsi realistisnya berdasarkan kondisi aktual saat ini. Pertama, terkait dengan ICP di mana saat ini harga minyak dunia sudah menyentuh di level USD40-an per barel. Dengan kondisi new normal saat ini di mana kebutuhan akan bahan bakar bisa meningkat, maka harga akan terus bertahan seperti saat ini, bahkan bisa mengalami kenaikan. Jadi saya kira target pemerintah USD42- USD45 per barel untuk tahun 2021 merupakan angka yang cukup realistis,” ujar Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan dalam keterangan tertulisnya Selasa (30/6/2020).
Terkait dengan lifting migas di tahun 2021, Mamit menilai rentang target 690 ribu BOPD – 710 ribu BOPD seperti yang disusun pemerintah cukup masuk akal untuk diwujudkan. “Target tersebut saya kira sangat memungkinkan tercapai terutama di level 690 ribu BOPD ya. Untuk yang 710 ribu BOPD saya agak pesimis. Alasan utama adalah harga minyak masih di angka USD42-45 per barel, bisa dikatakan belum terlalu menggembirakan bagi K3S karena lapangan migas kita ini sudah mature dan cenderung high cost. Jadi, investasi untuk kegiatan migas saya kira akan sedikit banyak terganggu,” ungkapnya.
Kemudian, terkait dana cost recovery yang disiapkan pemerintah di 2021 senilai USD7,5 miliar – USD8,5 miliar, menurut Mamit jumlah itu memang lebih rendah ketimbang asumsi makro 2020 saat ini yang tercatat sebesar USD10,9 miliar. Menurutnya, hal itu sangat wajar mengingat asumsi lifting migas di 2021 juga lebih rendah ketimbang tahun sebelumnya. “Hanya saja, pemerintah perlu berhati-hati jangan sampai nanti beban cost recovery lebih besar dibandingkan penerimaan pemerintah seperti tahun 2015 dan 2016, di mana cost recovery 2015 sebesar USD13.7 miliar tapi penerimaan negara hanya USD12 miliar, 2016 cost recovery USD 11.9 miliar dan penerimaan negara hanya USD9.7 miliar,” pungkasnya.