Jakarta-TAMBANG. Pengamanan objek vital nasional (obvitnas) khususnya di sektor minyak dan gas bumi (migas) menjadi tanggungjawab dan komitmen semua pemangku kepentingan. Pemerintah bahkan telah mengatur soal ini melalui Keputusan Presiden Nomor 63 tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional (Obvitnas) dengan pertimbangan bahwa Obvitnas memiliki peran penting bagi kehidupan bangsa dan negara ditinjau dari aspek ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan.
Muradi, Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran, mengatakan Obvitnas adalah kawasan/lokasi, bangunan/instalasi dan/atau usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis. Hal ini membutuhkan komitmen semua pihak demi pengamanan aset negara yang menjadi Obvitnas.
“Penekanan dari komitmen tersebut adalah bagaimana mengimplementasikan peran dan fungsinya masing-masing, khususnya berkaitan pada pengamanan obyek vital. TNI dengan UU No 34 Tahun 2004, Polri dengan UU No 2 tahun 2002 ataupun Pemda dengan UU No 23 Tahun 2015 tentang Pemda,” ujar Muradi.
Merujuk pada legalitas tersebut, lanjut Muradi, ketiganya (TNI, Polri, dan Pemda) harus secara penuh berkomitmen dalam pengamanan obvit berserta aktivitasnya. Apalagi dalam praktiknya, ada juga bantuan dalam bentuk tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) maupun bagi hasil atas aktivitas objek vital tersebut baik bagi masyarakat maupun bagi institusi.
“Praktik penyerobotan Obvitnas di daerah merupakan bagian dari tata kelola pemerintahan yang belum cukup baik. Atas nama putera daerah dan pemaksaan kehendak atas sumur-sumur minyak tersebut membuktikan bahwa secara faktual, negara melalui aparat keamanannya tidak cukup tanggap dalam mengamankan sumur-sumur minyak tersebut dari penyerobotan oknum masyarakat,” ujarnya.
Kegiatan hulu migas mengandung risiko besar terkait dengan hasil produksinya yang tergolong bahan mudah terbakar. Tidak hanya itu, pengamanan juga dibutuhkan karena wilayah kerja fasilitas operasi hulu migas merupakan aset negara.
Salah satu kasus gangguan pada obvitnas terjadi di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumatera Selatan berupa praktil penyerobotan aset migas (illegal drilling dan illegal taping) yang dikelola Pertamina EP Asset 1, anak usaha PT Pertamina EP berupa 104 sumur di Mangunjaya dan Kluang, Muba. Oknum masyarakat setempat secara turun temurun memanfaatkan sumur-sumur tua yang di kelola sendiri oleh masyarakat dengan cara tradisional khususnya di wilayah Kluang dan Mangunjaya, Muba. Padahal wilayah yang menjadi kegiatan produksi tersebut berada di wilayah kerja Pertamina EP.
Muhammad Baron, Manajer Humas Pertamina EP, mengatakan rencana penerbitan tersebut juga sesuai dengan aturan terkait pengamanan operasional dan fasilitas industri hulu migas itu termaktub dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 347 Tahun 2012. Di dalamnya mencakup 108 unit wilayah kerja dan fasilitas hulu migas yang termasuk dalam objek vital nasional.
Menurut Baron, Pertamina EP berwenang mengelola lahan yang menjadi obvitnas tersebut. Pasalnya, Pertamina EP pada 17 September 2005 telah meneken kesepakatan kerja sama pengelolaan wilayah kerja migas dengan BP Migas. Dalam kontrak tersebut telah mengatur wilayah kerja Pertamina EP untuk wilayah kerja di Musi Banyuasin, termasuk Mangunjaya dan Kluang. “Jangka waktu kontrak selama 30 tahun terhitung mulai kontrak ditandatangani,” ujarnya.
Namun, lanjut Baron, bibutuhkan komitmen bersama antara Pertamina EP, pemda, aparat, dan masyarakat penambang untuk bersama mencari solusi terbaik. Salah satunya misalnya masyarakat penambang dapat diberdayakan untuk pembersihan limbagh B3 di lokasi bekas sumur yang mereka tambang sebelumnya yang diperkirakan mencapai 2.500 ton.
Usaha alternatif sebagai peralihan mata pencaharian masyarakat juga perlu dipikirkan. Menurut Baron, Pertamina EP saat ini menjalin kerja sama dengan Universitas Sriwijaya, Palembang dengan rangkaian kegiatan antara lain wawancara, FGD, survei, observasi, analisis, dan penyimpulan program.
“Contoh program yang sukses dijalankan di tempat lain dapat diterapkan di Mangunjaya dan Klaung seperti budidaya lele, budidaya jamur tiram/merang, pembuatan bank sampah, dan pengelolaan sampah plastik menjadi BBM alternatif,” ujar dia.
Risna Resnawaty, pakar CSR dan dosen Program Studi Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Padjadjaran, mendukung kebijakan Pertamina EP yang mencarikan solusi bagi peralihan mata pencaharian masyarakat sekitar. Pemerintah daerah dan Pertamina perlu bekerja sama untuk memikirkan mata penchaharian pengganti bagi masyarakat. Upaya tersebut salah satunya bisa dilakukan dengan pemberdayaan ekonomi.
“Pemberdayaan ekonomi lokal ini harus diawali dengan adanya assesment potensi maupun masalah yang dimiliki masyarakat. Berawal dari informasi tersebut dapat dirumuskan secara paritisipatif mengenai jenis program maupun kegiatan pengembangan ekonomi yang akan dilakukan,” ujarnya.
Menurut Risna, masyarakat pada dasarnya memiliki banyak aset atau modal seperti modal manusia, modal sosial, modal fisik, modal finansial, dan modal lingkungan. “Pada intinya, pemberdayaan masyarakat yang dilakukan dalam hal ini harus menyentuh dan mengoptimalkan modal yang dimiliki masyarakat,” katanya.