Beranda Mineral Pemerintah Pastikan Tidak Ada Relaksasi Ekspor Mineral

Pemerintah Pastikan Tidak Ada Relaksasi Ekspor Mineral

Jakarta-TAMBANG. Pemerintah akhirnya memastikan bahwa tidak akan ada relaksasi ekspor mineral bagi perusahaan tambang. Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan setelah mempertimbangkan berbagai hal termasuk masukan dari kalangan pengusaha, Pemerintah akhirnya memutuskan untuk tidak memberikan relaksasi ekspor mineral.

 

“Perlu saya tegaskan bahwa Pemerintah tidak akan memberikan relaksasi ekspor kepada perusahaan tambang. Sampai sekarang Pemerintah masih komit menjalankan kebijakan hilirisasi seperti yang selama ini sudah berjalan,”kata Menteri Sudirman dalam Media Briefing di Jakarta (7/9).

 

Kebijakan hilirisasi di sektor mineral menurut Menteri ESDM Sudirma Said dimaksudkan untuk mendukung pertumbuhana ekonomi, mendorong industrialisasi di sektor pertambangan mineral, mendorong peningkatan nilai tambah dan mengurangi ketergantungan pada bahan baku impor .

 

Menteri mengakui bahwa sempat muncul wacana untuk mempercepat pembangunan smelter. Salah satunya dengan memberikan relaksasi terbatas. Dari kegiatan ini diharapkan bakal ada devisa yang masuk ke kas negara. Aktivitas pertambangan pun bisa kembali berjalan serta membantu perusahaan tambang yang sedang membangun smelter mendapatkan pemasukan. Namun setelah dilakukan evaluasi akhirnya diputuskan Pemerintah tidak akan memberikan relaksasi ekspor mineral.

 

“Memang kalau ada relaksasi ekspor mineral akan ada devisa yang masuk dan juga aktivitas pertambangan yang selama ini berhenti akan kembali hidup. Namun apakah akan benar-benar membantu mengingat harga komoditi tambang masih turun. Apakah ini bisa membantu perusahaan untuk menyelesaikan pembangunan smelternya,”kata Sudirman Said.

 

Setelah dikaji dari aspek konsistensi kebijakan, aspek lingkungan dan mempertimbangkan perusahan tambang yang sudah bekerja keras membangun smelter akhirnya diputuskan untuk tidak diberikan relaksasi ekspor untuk semua komoditi tambang. “Kita harus menghormati IUP yang saat ini sedang bersusah payah menyelesaikan pembangunan smelternya,”katanya.

 

Sampai Juli 2015 menurut Sudirman Said  ada setidaknya 88 perusahaan yang sedang membangun smelter. “Kita mengapresiasi langkah mereka yang sudah bekerja keras memenuhi kewajiban melakukan pengolahan dalam negeri,”ungkap Sudirman. Dari jumlah tersebut ada 25 perusahaan yang mendekati final.

 

Pemerintah menurutnya akan memberikan insentif lain kepada perusahaan yang serius membangun smelter. Ia juga memastikan sebentar lagi perusahaan tambang yang sudah menyelesaikan smelternya bakal menikmati hasil dari kegiatan peningkatan nilai tambahnya. “Sebentar lagi juga perusahaan akan menikmati hasil penjualan produk smelter dengan nilai tambah yang lebih besar,”terang Sudirman.

 

Seperti diketahui, Pemerintah sebelumnya diberitakan sedang mengkaji kebijakan relaksasi ekspor mineral. Kebijakan dimaksud untuk mendatangkan devisa bagi negara dan juga membantu perusahaan yang sedang kesulitan keuangan untuk menyelesaikan pembangunan smelter. Rencana ini kemudian memunculkan sikap pro dan kontra.

 

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika, Kementrian Perindustrian I Gusti Putu Suryawirawan misalnya. Putu meminta agar pemerintah tidak memberi relaksasi ekspor mineral karena akan mempengaruhi iklim investasi di industri pengolahan mineral. Menurutnya kebijakan relaksasi  ekspor mineral khusus mineral logam sebaiknya tidak dilakukan karena akan merusak iklim investasi industri pengolahan dan pemurnian mineral yang rata-rata investasinya di atas Rp3 triliun dan sekarang sudah ada kurang lebih 25 industri yang proyeknya hampir selesai.

 

“Selain itu harga komoditi tambang juga sedang turun sehingga relaksasi dalam setahun tidak akan banyak mendatangkan devisa dibanding besarnya investasi langsung yang masuk dalam proyek pembangunan smelter yang sudah lebih dari 25 industri tersebut,”kata  Putu.

 

Belum lagi menurutnya kebijakan pelarangan ekspor berdasarkan UU No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan batu bara dimana untuk dilakukan revisi tidak mudah dan butuh waktu yang tidak singkat. “Selain itu untuk proyek-proyek smelter yang kekurangan dana sebaiknya dibantu melalui sumber dana yang lebih murah seperti melalui Bank Ekspor Impor Indonesia,”katanya.

 

Kalangan pelaku usaha khusus yang serius membangun smelter pun tidak sepakat dengan kebijakan ini.  Jonathan Handojo, Ketua Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) kebijakan ini tidak akan banyak membantu perusahaan tambang untuk mendapatkan pendanaan dari pasar.

 

Harga komoditi yang sedang melemah dan juga permintaan pasar yang turun akan menyulitkan perusahaan tambang menjual produknya. “Kita lihat saja dengan kondisi pasar sekarang perusahaan tambang juga akan sulit menjual hasil tambangnya. Banyak perusahaan smelter di Cina yang selama ini membeli nikel dan bauksit dari Indonesia pada tutup,”terang Jonathan.

 

Oleh karenanya menurut Jonathan kebijakan ini tidak akan banyak membantu perusahaan tersebut untuk mengatasi masalah cashflow. “Kita lihat saja apakah waktu setahun yang nanti diberikan bisa dimanfaatkan perusahaan tambang untuk mendapatkan dana guna mendukung pembangunan smelter. Atau kebijakan ini malah tidak memberi dampak positif bagi perusahaan tambang untuk mendapatkan pendanaan,”katanya.

 

Hal yang sama disampaikan Presiden Direktur PT Vale Indonesia Tbk (PT Vale), Nico Kanter yang menilai pembangunan smelter nikel di Indonesia saat ini didorong oleh kebijakan larangan ekspor bijih nikel dan turunnya permintaan dari pasar Cina. Ia menilai meski harga nikel saat ini rendah karena lemahnya permintaan dari pasar Cina, namun pembangunan smelter nikel di Indonesia terus menunjukkan peningkatan sejak diberlakukan larangan ekspor bijih tersebut. Hal ini tentunya menciptakan lapangan kerja baru dan pendapatan bagi Indonesia.

 

Menurut Nico pembangunan smelter nikel membutuhkan dana besar dan proses perencanaan panjang dan rinci. “Untuk itu, investor membutuhkan kepastian hukum dalam bentuk konsistensi kebijakan larangan ekspor bijih nikel dari Pemerintah. Apabila ada relaksasi, maka investasi yang telah maupun yang akan masuk akan hilang. Hal ini dapat merusak kepercayaan investor dan bijih nikel dengan kadar tinggi akan kembali diekspor dengan nilai rendah. Mengekspor bijih nikel tanpa nilai tambah,  apalagi dalam pasar yang masih mengalami kelebihan pasokan, adalah tindakan yang tidak tepat,” tutur Nico Kanter.

 

Semakin banyak bijih nikel diekspor dari Indonesia, harga nikel dunia semakin turun, sehingga pendapatan yang diperoleh dari ekspor bijih akan terdilusi oleh harga nikel yang rendah. Pendapatan dari ekspor bijih yang rendah nilainya tidak akan cukup untuk membiayai kebutuhan modal yang besar untuk proyek smelter. Oleh karena itu, relaksasi terhadap larangan ekspor bijih nikel, yang dimaksudkan untuk membantu pembangunan smelter yang berkesulitan dana, justru memiliki dampak yang bertentangan dengan semangat peningkatan nilai tambah dalam negeri.

 

“Konsistensi dalam kebijakan adalah hal yang terpenting bagi investasi jangka panjang.  Lebih jauh lagi, secara keseluruhan relaksasi ini dapat berdampak terhadap reputasi dan kredibilitas Pemerintah walaupun hanya diterapkan secara khusus dan terbatas. Semoga Pemerintah dapat mempertimbangkan hal ini dengan baik, untuk meraih manfaat yang optimal dari pengelolaan sumberdaya mineral,” ujar Nico Kanter.