Jakarta, TAMBANG – Pemerintah memastikan bahwa rencana larangan ekspor bijih bauksit akan dimulai pada besok, Sabtu (10/6). Hal itu disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif.
“Ya kan memang (bauksit) udah dilarang,” ujar Arifin saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (9/6).
Kata dia, sebetulnya pemerintah sudah memberikan keringanan atau relaksasi kepada badan usaha yang sedang melaksanakan pembangunan smelter di atas 50 persen, sebagaimana terjadi pada konsentrat tembaga.
“Ya kita kan melihat yang memang boleh adalah yang progresnya di atas 50%, rata-rata sudah lebih, kemudian uang yang dikeluarkan sekian banyak,” beber dia.
Pelaku usaha yang sudah membangun smelter pun akan dikenakan denda, jika pembangunan pabrik peleburan dan pemurnian itu mandek setelah kebijakan larangan ekspor ini berlaku.
“Jadi kalau mangkrak gak diterusin kan sayang juga. Tapi tetep kita denda tuh, ada dendanya,” ungkap Arifin.
Dia berharap dengan adanya pelarangan ini, pelaku usaha serius membangun smelter bauksit. Menurut Arifin, dengan banyaknya smelter yang terbangun di dalam negeri maka pendapatan negara dari nilai tambah akan meningkat.
“Ya harusnya mereka mau bangun dong [smelter]. Kita kerja sama lah, prinsipnya kita bangun di sini create value dari sini. Ini bagian dari sharing. Masa kita mau lu yang ambil untungnya banyak, kita dikasih sisa-sisa,” beber dia.
Jika bijih bauksit dilarang dijual ke luar negeri, kemanakah pengusaha tambang menyalurkan komoditas yang menjadi salah satu bahan baku baterai kendaraan listrik ini?
Sejauh ini baru ada tiga refinery atau fasilitas pemurnian bauksit yang sudah berproduksi di Indonesia yakni PT Indonesia Chemical Alumina milik PT Aneka Tambang, Tbk yang mengolah bauksit menjadi Chemical Grade Alumina.
Kemudian ada PT Well Harvest Winning Alumina Refinery yang sudah membangun dua line dengan kapasitas 2 juta ton Smelter Grade Alumina (SGA) per tahun. Ada juga PT Bintan Alumina Indonesia (BAI).
Dari ketiga perusahaan tersebut, kapasitas input bijih bauksit sebanyak 13,9 juta ton setahun. Sementara kapasitas outputnya sebesar 4,3 juta ton alumina setahun.
Sebagai informasi, pelarangan ekspor raw material atau mineral mentah tertuang dalam Undang-Undang nomor 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pada pasal 170 A.
Dalam pasal itu dijelaskan bahwa perusahaan hanya boleh mengekspor produk mineral tertentu yang belum dimurnikan dalam jumlah tertentu dengan jangka waktu paling lama 3 tahun sejak UU ini berlaku.