Jakarta – TAMBANG. Selain panas bumi, potensi energi terbarukan Indonesia yang perlu dimanfaatkan untuk menunjang proyek kelistrikan adalah biomassa. Kementerian ESDM mencatat potensi biomassa sebenarnya mencapai 32 gigawatt (GW), namun saat ini belum tergarap secara optimal.
Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Tisnaldi, menyebut bahwa potensi yang saat ini sudah dimanfaatkan barulah sekitar 1,7 GW. Padahal, sebenarnya bisnis kelistrikan biomassa cukup menarik dan menawarkan kemudahan dari sisi besaran investasi dan faktor risiko kegagalan.
“Bisnis ini cukup menarik, karena untuk menghasilkan 1 MW itu dibutuhkan investasi hanya US$2 juta. Sementara, geothermal itu butuh US$4 juta hingga US$4,5 juta. Jadi biomassa itu separuhnya geotermal,” ujar Tisnaldi, Minggu (23/8) di Jakarta.
Berbeda dengan bisnis geotermal yang memiliki faktor risiko tinggi kegagalan, biomassa secara teknis tidak memiliki risiko serupa. Hanya saja, agar tak merugi maka sumber energinya harus bisa berlanjut setidaknya 15 tahun.
Dengan besaran investasi lebih kedil dan risiko lebih rendah, maka investor biomassa pun bisa lebih mendapat kemudahan untuk sumber pendanaan dari dalam negeri.
“Perbankan nasional sudah tertarik membantu pendanaannya. Beda dengan geotermal, perbankan nasional masih pikir-pikir,” Tisnaldi mengungkapkan.
Dari potensi 32 GW yang tersedia dari biomassa, komoditas yang menjadi sumber utamanya mencakup kelapa sawit, karet, padi, jagung, sekam, tebu, singkong, kelapa, kayu, dan sampah kota. Potensi terbesar memang tetap berasal dari kelapa sawit, yang bisa menyumbang 12,6 GW.
Namun Tisnaldi berujar bahwa selama ini perusahaan hanya menggunakan pembangkit dari limbah kelapa sawit untuk kebutuhan internalnya. Padahal bila dimanfaatkan secara optimal, limbah tersebut justru bisa jadi sumber penghasilan. Pemerintah pun akan mendorong perusahaan sawit untuk terjun ke bisnis pembangkitan listrik, dalam pemenuhan target Program 35 Ribu MW.
“Makanya kita harus memetakan kelapa sawit dan jaringan listrik. Kalau jauh, kita mau minta investor bangun transmisinya. Kalau dekat, pemerintah bisa menggarapnya. ESDM dengan Dana Alokasi Khusus akan langsung ke daerah yang tidak terjamah investor,” tegas Tisnaldi.
Sampai saat ini, Tisnaldi membeberkan bahwa ada 17 perusahaan yang sudah menyatakan minatya untuk membangun instalasi pembangkit listrik dari limbah sawit.