Jakarta-TAMBANG. Perusahaan listrik, PT PLN (Persero) telah menerbitkan laporan keuangan tahun 2014. Laporan tersebut menunjukkan, pendapatan usaha PLN tahun 2014 mencapai Rp292,7 triliun. Manager Komunikasi PLN, Bambang Dwiyanto mengatakan hasil tersebut menunjukkan pertumbuhan yang signifikan yaitu naik Rp30,9 triliun atau 11,8% dibandingkan dengan tahun 2013 sebesar Rp261,8 triliun.
Menurut Bambang, beban saha perusahaan meningkat 11,8% dibandingkan tahun 2013. Peningkatan itu salah satunya dikarenakan peningkatan konsumsi bahan bakar dari batu bara seiring dengan permintaan tenaga listrik pelanggan.
“Biaya pemakaian batu bara sebesar Rp44,8 triliun atau naik sebesar 20,55 persen dari tahun sebelumnya,” kata Bambang dikutip dari siaran persnya, Kamis (5/3).
Selain batu bara, biaya pemakaian gas tahun 2014 juga ikut naik sebesar Rp47,7 triliun dengan prosentase kenaikannya 26,14% dibandingkan tahun 2013. Menurut Bambang, perseroan terus melakukan efisiensi dan pengendalian terhadap pengeluaran untuk beban usaha, terutama dengan mengalihkan biaya energi primer dari BBM ke Non-BBM serta efisiensi biaya yang merupakan controllable cost bagi Perseroan.
Ditambahkan Bambang, meski pendapatan usaha perusahaan naik sebesar 11,8% namun dengan tetap memperhatikan kualitas dan cakupan kegiatan maka biaya pemeliharaan tahun 2014 hanya naik 1,9% yaitu menjadi sebesar Rp20,2 triliun dibandingkan tahun 2013 sebesar Rp19,8 triliun.
“Dengan demikian laba usaha tahun 2014 sebesar Rp45,8 triliun, naik sebesar Rp4,9 triliun atau 11,9 % dibanding tahun 2013 sebesar Rp40,9 triliun.” Sebagai informasi, laba bersih PT PLN (Persero) tahun 2014 adalah Rp11,7 triliun, naik sebesar Rp37,98 triliun dibanding dengan pada periode yang sama tahun 2013 dimana Perseroan mengalami rugi sebesar Rp26,2 triliun.
Kenaikan laba bersih ini disamping disebabkan oleh kenaikan laba usaha juga terjadi karena adanya peningkatan laba selisih kurs. Perusahaan tahun ini mencatatkan laba selisih kurs sebesar Rp1,3 triliun, lebih baik dibandingkan tahun 2013 yang mengalami rugi selisih kurs sebesar Rp48,1 triliun yang terutama diakibatkan oleh translasi liabilitas dalam mata uang asing yang didominasi oleh Dolar Amerika (USD) dan Yen.