Jakarta, TAMBANG – PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) berhasil menyelesaikan rangkaian divestasi. Meski demikian, PT Freeport Indonesia, yang moyoritas sahamnya telah dikuasai Inalim, diperkirakan akan mengalami penurunan pendapatan.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono mengatakan mengatakan, penurunan ini hanya bersifat sementara, hanya berlangsung sepanjang tahun 2019 saja.
“Tahun 2019 memang akan turun. Tapi tahun 2020 akan naik dan stabil,” Kata Bambang saat Diskusi Publik “Kembalinya Freeport ke Indonesia: Antara Kepentingan Nasional dan Kepentingan Asing” yang di gelar Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Centre, di Jakarta, Rabu (9/1).
Penurunan capaian Freeport tercermin dalam pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi alias EBITDA. Ditaksir, nilainya akan anjlok dari USD4 miliar, yang dicetak pada tahun 2018, menjadi sekitar USD1 miliar tahun ini.
Menurut Bambang, penurunan terjadi akibat adanya peralihan dari pengelolaan tambang terbuka atau open pit menjadi bawah tanah.
“Turun dibanding 2018, jadi EBITDA maupun revenue itu turun, karena apa, tambang Grasberg berhenti, baru mulai tambang dalam, jadi bukan masalah cadangan, kadar, tapi masalah volume proses saja yang belum dimulai, jadi kalau turun, iya,” beber Bambang.
Di saat bersamaan, Direktur Utama PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum), Budi Gunadi Sadikin membenarkan hal tersebut. Menurutnya, pendapatan Freeport akan kembali stabil dan mencapai tahap puncak produksi pada tahun 2023 mendatang. Dalam keadaan stabil, Inalum akan memperoleh jatah laba sekitar USD1 miliar per tahun.
“Pada saat manteng itu sekitar USD2 miliar per tahun, karena Inalum pegang 51 persen, kita dapat USD1 miliar per tahun setelah 2023,” tutur Budi.