Beranda Tambang Today Pakar Pertambangan Tanggapi Wacana IUP Ormas Keagamaan Dikerjakan Kontraktor

Pakar Pertambangan Tanggapi Wacana IUP Ormas Keagamaan Dikerjakan Kontraktor

Pakar pertambangan
Ilustrasi: Tambang batu bara PT Arutmin Indonesia (Arutmin), Site Asamasam, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Dok: Rian.

Jakarta, TAMBANG – Pakar pertambangan buka suara perihal izin usaha pertambangan (IUP) Ormas Keagamaan yang bakal dikerjakan kontraktor.

Bidang Kajian Strategis Pertambangan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI), Ardhi Ishak menyampaikan bahwa industri tambang di dalam negeri sebagian besar dikerjakan oleh kontraktor tambang yang memiliki Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP).

“Pada umumnya kegiatan operasional pertambangan dilakukan oleh para kontraktor tambang nasional seperti PT Pamapersada Nusantara (PAMA), PT Bukit Makmur Mandiri Utama (BUMA), PT Saptaindra Sejati (SIS), PT Putra Perkasa Abadi (PPA) dan lainnya” beber Ardhi kepada tambang.co.id, dikutip Senin (10/6).

Ardhi membeberkan, operasional penambangan membutuhkan investasi besar untuk pengadaan alat berat penambangan serta tenaga kerja yang terlatih dalam mengoperasikan peralatan tersebut. Selain padat modal dan padat karya juga dibutuhkan penguasaan teknologi terkini. Kata dia, itu semua biasanya dimiliki kontraktor tambang.

Sementara pemegang IUP, ujar Ardhi, biasanya lebih fokus pada kegiatan eksplorasi, pengurusan perizinan yang dibutuhkan, penyiapan lahan dan infrastruktur serta fasilitas pengolahan dan transportasi bahan tambang” ucapnya.

“Pemegang IUP setiap tahun harus menyusun Rencana Kerja Anggaran Belanja (RKAB) sebagai rencana kerja yang diajukan kepada Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM untuk mendapatkan persetujuan,” ucapnya.

Ardhi menambahkan bahwa pemegang IUP juga harus siap menanggung beban cash flow paling tidak selama 3 bulan, untuk membiayai kegiatan operasional, membayar biaya kontraktor, membayar angkutan bahan tambang, termasuk membayar royalti batu bara sebelum menerima pembayaran atas imbas hasil penjualan komoditas tambang yang dihasilkannya.

“Hal ini dinilai wajar mengingat dari awal proses kegiatan penambangan sampai dengan batubara diterima pembeli batu bara di luar negeri dibutuhkan waktu sampai dengan 2 bulan,” jelasnya.

Sebagai catatan, jika diekspor maka akan terkena kebijakan DHE dimana 30% hasilnya harus disetorkan dan ditahan di bank Pemerintah selama 3 bulan. Belum lagi sesuai ketentuan regulasi, pemegang IUP harus menyetorkan Jaminan Reklamasi (Jamrek) ke bank nasional untuk membiayai aktivitas pasca tambang.

Belum lagi sumber pembiayaan sektor tambang terutama batu bara sangat terbatas karena sebagian besar bank internasional sudah tidak memberikan support ke industri tambang batu bara.

“Demikian pula dengan perbankan nasional, dampak diberlakukannya kebijakan Taksonomi Berkelanjutan yang dikeluarkan oleh OJK di awal tahun ini,” tandasnya.

Sebelumnya, wacana IUP Ormas Keagamaan digarap kontraktor dilontarkan Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers di Jakarta, (7/6). Kata dia, kontraktor tersebut dipastikan tidak memiliki konflik kepentingan dan tidak ada relasi dengan pemilik IUP sebelumnya.

Direktur Eksekutif Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (ASPINDO), Bambang Tjahjono menyebut perjanjian bisnis antara pemegang IUP dan Kontraktor bermacam-macam. Misalnya per ton batu bara atau per overburden removal (0B/pengupasan tanah penutup) yang sudah termasuk stripping ratio (SR).

“Perjanjian B2B antara kontraktor dan pemegang IUP bervariasi, bisa per ton coal, OB sudah termasuk dengan standar SR tertentu. Tapi, yang paling umum OB dan coal dibayar masing-masing terpisah,” ungkap Bambang.

Bambang juga menepis ungkapan Bahlil yang mengatakan kalau kontraktor yang akan menanggung risiko jika ada kerugian saat operasional pertambangan sudah berjalan. Model semacam ini, menurut Bambang sudah tidak relevan.

“Kalau pemerintah atau ESDM mengijinkan model IUP semacam ini, berarti kita set back ke belasan tahun yang lalu,” jelas pakar jasa pertambangan ini.

Menurut Bambang, model bisnis seperti itu biasanya terjadi di industri pertambangan batu bara skala kecil. “Kecuali model kontrak IUP-IUP yang receh, cuma minta bagian sekian Rp per ton, seluruhnya ditanggung kontraktor, sejak eksplorasi sampai penjualan. Kan secara legal sekarang kontraktor tidak boleh jadi trader,” pungkasnya.