Jakarta-TAMBANG. Pemerintah saat ini sedang mencari cara memberi kepastian investasi bagi PT Freeport Indonesia khusus terkait perpanjangan izin operasi. Maklum saja perusahaan ini akan berakhir masa kontraknya pada 2021. Terkait hal ini, Pakar Hukum Internasional Hikmahanto Juwana mengingatkan Pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan perpanjangan kontrak.
“Kalau untuk saat ini sesuai dengan regulasi yang ada, tidak ada cela bagi Pemerintah untuk memperpanjang kontrak. Jika pemerintah sampai memperpanjang kontrak akan melanggar hukum dan bisa dituntut,”kata Hikmahanto dalam acara diskusi dengan tema ‘Perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUPK) berpotensi melanggar UU Minerba?,” di Jakarta, Selasa (7/7).
Bahkan bukan tidak mungkin jika Presiden salah mengambil keputusan terkait perusahaan tambang tembaga terbesar di Indonesia ini, Ia bisa di-impeach (makzul) oleh DPR. Oleh karenanya Hikmahanto kembali mengingatkan Pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan terkait perpanjangan izin operasi PT Freeport.
Dari sisi hukum, pemerintah tidak memiliki dasar hukum untuk memberi kepastian usaha bagi Freeport saat ini. Undang-Undang Minerba dengan tegas mengatakan akan menghormati kontrak karya hingga berakhirnya masa kontrak. Dengan demikian Pemerintah akan menghormati izin operasi Freeport sampai tahun 2021.
Sementara bagaiman pasca 2021, Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara menyeburkan bahwa pengajuan perpanjangan hanya bisa dilakukan dua tahun sebelum masa kontrak berakhir. “Artinya Freeport baru bisa meminta kepastian usaha paling cepat pada 2019,”kata Hikmahanto.
Bahkan ia menganjurkan Pemerintah untuk berpikir tentang pengambilalihan PT Freeport Indonesia. Menurutnya Pemerintah selama ini telah menunjukkan sikap tegas ketika mengambilalih Inalum dan terakhir menghentikan kontrak Total E&P Indonesia di Blok Mahakam.
“Ini sesuai nawacita, yang salah satunya terkait kedaulatan sumber daya alam harus kembali ke pangkuan ibu pertiwi,” ungkap Hikmahanto. Ia pun membantah jika pengambilalihan ini sebagai upaya nasionalisasi. “Kalau yang ini tidak sama dengan nasionalisasi. Kalau nasionalisasi, perusahaan sedang beroperasi dan kemudian diambilalih oleh Pemerintah. Sementara ini kontraknya berakhir sehingga harus dikembalikan ke negara,”terang Hikmahanto.
Dalam nada yang sama Direktur Central for Indonesian Resources Strategic Studies (Ciruss) Budi Santoso menilai inilah saat yang tepat bagi Pemerintah untuk mengambilalih operasi PT Freeport Indonesia. “Ini momen penting buat bangsa menunjukkan kemampuannya,” kata Budi.
Untuk memuluskan jalan tersebut, Pemerintah dapat segera membentuk badan usaha milik negara (BUMN) yang akan mengelola tambang PT Freeport Indonesia pasca 2021. Tujuh tahun sebelum kontrak Freeport berakhir dirasa waktu yang cukup untuk mempersiapkan alih kelola tambang tembaga di Kabupaten Mimika tersebut. Dan menurutnya sumber daya manusia Indonesia sudah mampu melakukannya. “Sekarang ini top leader di sana semua sudah orang Indonesia,”tandas Budi.
Namun tentu ini tidak mudah karena ada banyak pertimbangan yang harus dibuat sebelum keputusan diambil. Oleh karenanya langkah yang sekarang ini coba dilakukan Pemerintah adalah melahirkan regulasi termasuk terkait perpanjangan izin operasi untuk kontrak karya dan PKP2B. Namun itu tentu butuh waktu dan juga dukungan dari DPR.