Jakarta, TAMBANG – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa hingga saat ini pemerintah belum mengambil keputusan terkait kebijakan penurunan produksi nikel.
“RKAB itu kan berdasarkan kebutuhan. Pemangkasan (produksi) belum ada,” ungkap Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia kepada wartawan di Jakarta, dilansir Sabtu (18/1).
Persetujuan dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang diajukan oleh pemilik IUP/IUPK yang salah satu muatannya perihal jumlah produksi, menurut Bahlil Lahadalia, disesuaikan dengan kebutuhan dan kapasitas industri dalam negeri.
Hal ini juga mencakup pertimbangan terhadap hasil produksi dari pelaku usaha lokal. Oleh karena itu, Bahlil menegaskan bahwa langkah yang dilakukan bukanlah pemangkasan produksi, melainkan upaya menjaga keseimbangan produksi nikel.
“Yang ada itu adalah menjaga keseimbangan antara permintaan perusahaan terhadap RKAB dan kapasitas industri serta memperhatikan juga pelaku usaha lokal,” jelas Bahlil.
Keseimbangan produksi dan kebutuhan nikel yang dimaksud oleh Bahlil, misalnya, jika sebuah perusahaan mengajukan jumlah produksi dalam RKAB sebesar 20 juta metrik ton, maka yang disetujui hanya 60 persen dari angka tersebut. Sisanya, yaitu 40 persen, wajib dipenuhi dengan mengambil pasokan dari perusahaan tambang lokal.
“Jadi industri perusahaan mengajukan RKAB, contohnya mengajukan 20 juta ton kemudian dia memenuhi kuota 20 juta, maka kita kasih dia 60% dan 40% dia harus mengambil dari tambang masyarakat lokal. Kalau tidak bagaimana nasib tambang masyarakat lokal,” beber Bahlil.
Sebelumnya, beredar kabar bahwa Kementerian ESDM akan mengevaluasi dokumen RKAB tahun 2024–2026, terutama pada aspek produksi. Langkah ini dilakukan untuk menjaga keseimbangan pasokan dan stabilitas harga pasar. Selain itu, pembatasan produksi nikel dianggap perlu, mengingat cadangan nikel di Indonesia diperkirakan akan habis sebelum tahun 2030.