Jakarta,TAMBANG,- Indonesia menyimpan potensi karbon yang bisa diperdagangkan. Oleh karenanya ditengah arus global yang mulai ramai dengan perdagangan karbon, Indonesia menegaskan akan mengatur mekanismenya. Hal ini ditegaskan oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia. Ia mengatakan bahwa kebijakan perdagangan karbon di Indonesia bersifat terbuka namun harus teregistrasi.
“Tadi sudah diputuskan bahwa karbon di Indonesia sifatnya itu terbuka tapi harus teregistrasi,” ungkapnya pasca rapat terbatas yang dipimpin Presiden RI Joko Widodo di Jakarta, Rabu (03/05).
Salah satu point penting dari rapat tersebut bahwa harga karbon di Indonesia tidak boleh dijual di pasar karbon yang lain di luar negeri. Pemerintah menurut Bahlil tidak ingin potensi penangkapan karbondioksida di Indonesia yang sangat besar justru dikapitalisasi oleh negara tetangga. “Jangan negara tetangga yang tidak mempunyai penghasil karbon, tidak punya tempat CO2, tapi dia membuka bursa karbon itu, kita tidak ingin. Barang, aset milik negara harus dikelola maksimal oleh negara dan harus pendapatan untuk negara,” tegasnya.
Sebagaimana diketahui, perdagangan akan menggunakan elektronik, electronic trading system, dan berbasis kepada teknologi yang tentunya bisa melakukan traceability terhadap situasi karbon itu berasal dari hutan yang mana, ataupun industri yang mana, ataupun energi yang mana. Sehingga walaupun diperdagangkan berkali-kali, itu asal-usul dan traceability-nya itu tetap ada.
Bahlil dalam pejelasanya juga menyebutkan bahwa mekanisme tata kelola perdagangan karbon di Indonesia berada di dalam bursa karbon yang diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sedangkan untuk registrasi akan dilakukan melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). “Registrasinya cuma sekali doang. Sebelum masuk ke bursa karbon diregistrasi dulu oleh LHK, setelah itu baru bisa melakukan perdagangan di bursa karbon. Setelah melakukan perdagangan bursa karbon, dia bisa melakukan trading seperti trading saham biasa,” terangnya.
Pemerintah juga menurut Bahlil telah memutuskan untuk melakukan penataan perizinan di wilayah-wilayah konsesi seperti hutan lindung dan hutan konservasi. Konsesi yang saat ini dimiliki oleh perusahaan-perusahaan akan diatur tata kelolanya oleh pemerintah. “Nanti semuanya dikendalikan, akan diatur tata kelolanya oleh pemerintah supaya karbon yang pergi ke luar negeri, bisa dijual, kalau tidak tata kelola dibuat sertifikasi, kita tidak akan pernah tahu berapa yang pergi. Kemudian ini juga menjadi sumber pendapatan negara kita,” lanjutnya lagi.
Untuk diketahui, Pemerintah Indonesia menetapkan target nationally determined contribution (NDC) sebesar 29 hingga 41 persen pada tahun 2030 serta net zero emmision (NZE) atau nol emisi pada 2060. Dalam dokumen NDC tersebut, Indonesia menargetkan pengurangan emisi sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri, dan sebesar 43,20 persen dengan dukungan internasional pada 2030.