Jakarta, TAMBANG – Kota Kijang yang terletak di tepi pantai timur Pulau Bintan, merupakan saksi perjalanan panjang industri tambang bauksit di Indonesia. Sejak penemuan lokasi, hingga memasuki proses pertambangan dan berakhir pada program pascatambang, pertambangan bauksit di Kota Kijang berhasil menyokong perkembangan ekonomi regional di wilayah Bintan.
Kegiatan eksplorasi bauksit di Bintan sebenarnya berawal dari ketidaksengajaan. Waktu itu, Belanda mengutus beberapa pekerja tambang, NV Gemeenschappelijke Mijnbouwmaatschappij Billiton (GMB) untuk mencari sumber timah baru. Akan tetapi, ketika berada di Bintan pada tahun 1924, bukanlah timah yang didapat melainkan bijih-bijih yang mengandung bauksit.
Berbekal studi dan publikasi penemuan tersebut, Belanda kemudian menyelesaikan kegiatan survey dan pemetaan persebaran bauksit. Sebelum operasi pertambangan dilakukan, Belanda memulai pembangunan fasilitas pada tahun 1929. Beberapa fasilitas yang dibangun waktu itu meliputi stacker, dump, bunker, sarana pencucian bauksit, pembangunan kantor, hingga tempat tinggal bagi pekerja.
Ekspor pertama bauksit dilakukan pada 1935 oleh perusahaan Belanda, NV Naamloze Venotschap Indische Bauxit Exploitatie Maatschappij (NIBEM) dengan tujuan utama Jepang. Hal ini berdasarkan perjanjian yang mengikat antara Belanda-Jepang.
Setelah satu tahun, keran ekspor ke negara pengolah bauksit selain Jepang pun dibuka. Hingga tahun 1940, kegiatan tambang bauksit di masa Belanda mencapai puncaknya yaitu mampu mencukupi sekitar 6-7% kebutuhan dunia.
Setelah pergantian rezim kolonial, Jepang mendatangi Bintan pada tahun 1942. Kegiatan pertambangan yang sebelumnya dilakukan Belanda, dialih kelola oleh Jepang lewat perusahaan Furukawa Co. Ltd. Namun, penguasaan itu tidak berjalan langgeng. Tahun 1945, setelah Jepang kalah dalam perang dunia kedua, pertambangan bauksit yang dilakukan oleh Jepang ikut berakhir. Meskipun begitu, pertambangan bauksit Bintan dikelola kembali oleh Belanda lewat perusahaan NIBEM. Era baru pertambangan bauksit NIBEM ditandai dengan pembelian, pembaharuan, dan penyegaran alat-alat tambang.
Tahun 1959 menjadi titik berakhirnya pertambangan bauksit Bintan oleh Belanda, setelah Pemerintah Republik Indonesia melakukan nasionalisasi aset lewat PT Pertambangan Bauksit Indonesia (PERBAKI). Tak lama setelah itu, Pemerintah juga mengatur kembali peleburan perusahaan menjadi PN Tambang Bauksit Indonesia (PNTBI). Tak sampai satu dekade, tepatnya 1968, pengelolaan tambang bauksit Kota Kijang di Bintan ini diserahkan kepada PT Aneka Tambang (ANTAM) Unit Pertambangan Bauksit. Performa operasi pun kian menonjol. Di masa Orde Baru, produksi bauksit yang dihasilkan mencapai jutaan ton.
Sampai tahun 2009, ANTAM akhirnya menghentikan kegiatan pertambangan bauksit di Kota Kijang karena sisa cadangannya sudah tipis. Beberapa program pascatambang kemudian dijalankan, seperti reklamasi, revegetasi dan corporate social responsibility (CSR).
Berhentinya operasi ANTAM ikut berpengaruh terhadap kehidupan para pekerja dan masyarakat sekitar Kijang. Penutupan tambang ini menghadirkan tantangan baru bagi ekonomi lokal, sekaligus menjadi momentum untuk mengarah pada pembangunan yang lebih berkelanjutan, diversifikasi ekonomi, seperti program pariwisata dan turunannya.
Kenangan akan masa kejayaan tambang tetap hidup, komunitas di Kota Kijang bergerak maju dengan harapan akan masa depan yang lebih cerah, yang tidak hanya bergantung pada satu industri saja.
Baca Juga: Kilau Batavia Kecil Di Pucuk Monas