URUSAN minyak menjadi perhatian serius Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said. Kementerian ESDM memiliki beberapa direktorat jenderal:ketenagalistrikan; energi baru, terbarukan, dan konservasi energi; mineral dan batu bara; serta minyak dan gas bumi.
Namun, bidang minyak dan gas bumi yang mendapat perhatian lebih banyak ketimbang lainnya. Sekitar sebulan lalu, tepatnya pada 4 November, Sudirman Said mencopot Dirjen Migas, Edy Hermantoro. Edy dinilai kurang becus untuk menangani persoalan migas yang kompleks.
Edy baru sekitar setahun menjadi dirjen. Ia diangkat sebagai dirjen pada 31 Januari 2013, menggantikan Evita Herawati Legowo yang pensiun pada 1 Desember 2012. Evita merupakan pejabat senior, kinerjanya cukup menonjol.
Edy, kelahiran Yogyakarta 7 Oktober 1956, menjadi sekretaris Direktorat Jenderal Migas saat Evita menjadi direktur jenderal. Edy adalah lulusan Teknik Geologi Universitas Pembangunan Nasional, pada 1987. Edy dianggap sebagai ‘’sumbatan’’, membuat banyak persoalan migas yang tidak selesai. Misalnya dalam pembangunan kilang, produksi minyak mentah.
Menurut Sudirman, sebetulnya Edy dalam seleksi direktur jenderal, tidak di peringkat pertama. Namun dengan jalur khusus, ia bisa terpilih.
Setelah mencopot Edy, Sudirman Said membentuk Tim Reformasi Tata Kelola Migas, yang diketuai Faisal Basri, seorang ekonom dari Universitas Indonesia yang juga dikenal luas dengan aktivitas politiknya: ia pernah jadi Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional, juga pernah menjadi calon gubernur DKI Jakarta, dari jalur independen.
Mata Tim Reformasi banyak tertuju pada bagaimana transaksi pengadaan minyak di Indonesia dilakukan. Dengan produksi yang hanya sekitar 800.000 barel sehari, sementara kebutuhan sehari mencapai 1,6 juta barel, berarti secara kasar Indonesia butuh minimal 800.000 barel sehari. Angka yang sangat besar. Seandainya 1 barel harganya US$ 100, berarti dalam sehari yang dibelanjakan mencapai US$ 80 juta, sekitar Rp 1 triliun. Angka yang sangat besar.
Setiap kali berbicara perdagangan minyak, tudingan terarah ke dua sosok: mafia dan Petral. Petral adalah anak perusahaan Pertamina yang mengurusi pembelian minyak dari luar negeri. Di awal berdirinya, Petral diniatkan untuk menjual minyak produksi Pertamina. Namun, seiring dengan makin banyaknya konsumsi dalam negeri, sementara produksi malah berkurang, kini Petral bertugas mencari minyak untuk keperluan Indonesia.
Pertanyaannya: sudah transparankah Petral dalam pengadaan minyak? Apakah ada unsur mengambil keuntungan buat sendiri, atau disetir pihak tertentu, dalam menentukan harga?
Masalah Petral selalu diangkat setiap ada rezim baru, atau ada menteri baru. Soal minyak bumi memang merupakan isyu yang cukup seksi, dan mengundang perhatian publik.
Ketika Dahlan Iskan baru saja naik menjadi menteri BUMN, ia juga memberi perhatian khusus terhadap Petral. Namun seiring berjalannya waktu, pendiriannya soal Petral berubah. Dalam sebuah rapat kerja ia mengatakan, ‘’Saya komit akan bubarkan Petral kalau terbukti ada mafia.’’ Namun, hingga Dahlan Iskan tak lagi menjadi menteri, keberadaan mafia itu tak berhasil dibuktikan.
Mafia migas, itu memang isyu lain yang juga jadi sorotan. Yang dimaksud dengan mafia adalah para pemburu untung dari perdagangan minyak bumi, yang didapat dengan melanggar hukum. Si mafia ini, demikian menurut tuduhan itu, sangat berkuasa sehingga bisa mengatur agar Indonesia tidak mendirikan kilang. Tujuannya biar Indonesia terus-menerus mengimpor minyak olahan.
Siapakah si mafia itu? Indonesia, negeri dengan banyak lembaga penegak hukum, hingga kini tak berhasil mengungkapkannya. Kita memiliki polisi, jaksa, pengadilan, BPK, BPKP, inpektorat jenderal, Badan Intelijen Negara. Di luar itu, kita juga punya DPR, yang salah satu tugasnya adalah mengawasi jalannya pemerintahan.
Lebih dari sepuluh tahun semenjak isyu mafia itu dilontarkan, sosok si mafia tak kunjung terkuak.
Juni lalu, Pengamat Ekonomi Faisal Basri membeber inisial mafia minyak nomor wahid di Indonesia adalah ‘R’. Katanya, R inilah yang berhasil menciptakan ketergantungan Indonesia pada impor minyak. Karena menurutnya, semakin sering Indonesia mengimpor minyak dengan volume yang besar, maka para mafia ini akan bertambah ‘kenyang’.
”Itulah salah satu alasan kenapa kilang-kilang minyak baru tidak kunjung bisa dibangun dan anggaran subsidi BBM meningkat. Mafianya siapa lagi kalau bukan dia, si R,” kata Faisal. R dan kelompok mafia lain adalah merupakan importir minyak, yang biasa memasok minyak Indonesia dari luar negeri.
Tentu kita berharap agar setelah menjadi Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Faisal Basri bisa mengungkap sosok si R ini dengan gamblang, bukan sekadar inisial nama. Faisal mengatakan, mafia bisa hidup karena perdagangan minyak ada di tempat yang gelap. Agar si mafia bisa terlihat, maka lampu harus dinyalakan.
Kini, Faisal Basri adalah pemegang saklar, yang menentukan kapan lampu menyala dan kapan lampu mati. Ia punya posisi strategis untuk mengungkap dengan benderang sosok si mafia ini.
Memang, bila hingga masa kerjanya berakhir Faisal tak berhasil memberantas si mafia, atau mengungkapkan jati diri si mafia, ia yang akan mendapat sorotan dari masyarakat.