Beranda ENERGI Kelistrikan Melistriki Daerah Terpencil: Membangun Dari Sumber Daya yang Ada

Melistriki Daerah Terpencil: Membangun Dari Sumber Daya yang Ada

Masih banyak daerah terpencil yang belum menikmati listrik. Pemerintah mendorongnya lewat berbagai program. Harus libatkan masyarakat sejak awal program.

Jakarta-TAMBANG. INDONESIA patut berbangga karena memiliki beragam sumber energi. Mulai dari yang berbasis fosil, seperti minyak, gas, dan batu bara, juga energi non-fosil, yang masuk dalam energi baru dan terbarukan, seperti panas bumi, tenaga matahari, tenaga angin, sampai mikrohidro.

Meski demikian sampai sekarang masih banyak warga Indonesia yang belum menikmati listrik. Mereka kebanyakan tinggal di daerah terpencil. Data Kementerian ESDM, sebagaimana dapat diakses di situs webnya, menyebutkan terdapat 12.669 desa di negeri ini yang belum mendapat akses listrik. Bahkan 2.519 desa di antaranya masih gelap gulita.

Dalam diskusi dengan media pada 20 Mei 2016, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi ( EBTKE) Rida Mulyana menampilkan wajah Indonesia di malam hari, diambil dari satelit. Di sana terlihat, pada malam hari sebagian besar wilayah Indonesia tidak terlihat karena gelap gulita. Hanya daerah di Pulau Jawa, Bali, dan sebagian Sumatera yang bercahaya. Ini menunjukkan bahwa negeri ini masih kekurangan pasokan listrik.

Ini sebuah ironi bagi sebuah negara yang baru saja merayakan ulang tahun kemerdekaan yang ke-71. Korea Selatan, yang tiga tahun lebih muda dari Indonesia, serta Malaysia (merdeka pada 1963), dan Singapura (merdeka pada 1965), menurut data Bank Dunia pada 2012 sudah berhasil memberi akses terhadap listrik bagi seluruh penduduknya, sedang Indonesia baru 96%.

Kondisi Listrik Indonesia Saat Malam Hari
Kondisi Listrik Indonesia Saat Malam Hari

Tanpa listrik, warga di daerah terisolasi itu tak bisa menyetrom baterai telepon genggam, atau menonton televisi. Mereka mengalami hambatan untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan. Mereka tak bisa menyaksikan kemeriahan perayaan 17 Agustus di Istana Negara, mengenali wajah Presiden, apalagi menatap wajah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

Tidak berlebihan jika pemerintahan saat ini menempatkan sektor ketenagalistrikan sebagai program prioritas. Salah satunya lewat megaproyek 35 GW. Beberapa kali Presiden Joko Widodo mengatakan, program 35 GW bukan sekedar program, tetapi kebutuhan. Menjadi kewajiban bagi negara untuk menuntaskannya.

Menjadi pertanyaan apakah program ini akan menyentuh daerah-daerah terpencil di Indonesia yang mungkin saja secara geografis sulit. Apalagi, secara hitungan bisnis, banyak di antaranya yang kurang menarik. Di daerah terpencil biasanya kebutuhan listriknya masih kecil karena jumlah penduduknya juga tidak banyak.

PLN misalnya, selama ini dalam melistriki daerah terpencil harus “nombok” karena biaya pokok produksi listrik sangat tinggi, bahkan bisa mencapai Rp 800/kWh. Padahal rata-rata biaya pokok produksi listrik untuk seluruh Indonesia hanya Rp 1.352/kWh, dan tarif yang dibayar masyarakat Rp 4.000/kWh. Dengan kondisi ini butuh terobosan.

Untuk desa dan daerah terpencil, selama ini sudah ada beberapa program pemerintah. Namun harus diakui, program itu belum banyak berdampak karena sampai saat ini masih banyak daerah yang belum teraliri listrik.

Dalam RAPBN-P 2016 Kementerian ESDM mengalokasikan Rp 800 miliar untuk Program Indonesia Terang yang menyasar daerah terpencil. Terkait hal ini, Kementerian ESDM setidaknya punya tiga cara dalam melistriki daerah terpencil, khususnya untuk Indonesia Timur.

Pertama, dari sisi PLN, yakni pemerintah dan PLN akan berusaha meningkatkan rasio elektrifikasi hingga 97% pada 2019. Cara kedua dengan membangun pembangkit listrik tenaga surya terpusat untuk desa dengan warga yang tingga berdekatan.

Kemudian yang ketiga, untuk desa yang rumah penduduknya berjauhan akan dibangun solar home system (SHS). Semua ini akan dilaksanakan dalam Program Indonesia Terang (PIT) yang dimulai dari desa yang belum dijangkau PLN.

Sayangnya, anggaran untuk Program Indonesia Terang ikut dipangkas oleh Kementerian Keuangan. Ini, menurut pengamat kelistrikan Fabby Tumiwa, akan menunda kegiatan Program Indonesia Terang (PIT). Penyediaan listrik bagi 12.669 desa dan setidaknya 2 juta rumah tangga yang belum terlistriki di kawasan Indonesia timur bakal terhambat.

****
Di Indonesia terdapat wilayah yang sudah menikmati listrik, namun karena kebutuhan meningkat, maka butuh tambahan pasokan. Ada pula daerah terpencil yang sama sekali belum menikmati listrik. Biasanya pasokan listrik yang dibutuhkan tidak besar.

Menyelesaikan yang kategori pertama mungkin tidak sulit, karena dari sisi keekonomian akan lebih menarik. PLN atau kalangan pengusaha swasta dalam hal ini independent power plant (IPP) tertarik untuk masuk dan mengembangkannya.
Situasi berbeda untuk daerah terpencil dengan kebutuhan listrik yang tidak besar dengan kondisi masyarakat yang kurang mampu secara ekonomis. Ini menjadi tantangan karena secara bisnis tidak menarik. Ditambah lagi bila akses ke daerah tersebut masih sangat terbatas. Daerah-daerah seperti ini tidak menarik bagi pelaku usaha swasta, dan bahkan juga PLN. Di sinilah kehadiran negara sangat dibutuhkan.

Pemerintah selama ini berusaha menjangkau desa-desa terpencil ini dengan berbagai program seperti program listrik desa. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi juga memiliki program melistriki daerah tertinggal.

Namun, untuk melaksanakan program pemerintah itu tidak mudah. Sempitnya waktu menjadi tantangan yang harus ditaklukkan. Beberapa proses harus dilalui sebelum pelaksanaan program itu, mulai dari tender sampai pelaksanaannya. Kadang dalam program tersebut aspek perawatan tidak diperhitungkan.

Dengan mekanisme lewat tender, tidak ada ruang bagi masyarakat untuk terlibat. Perusahaan pemenang hanya bertanggungjawab sampai program itu berjalan. Bagaimana kelanjutan setelah pembangkit listrik itu diserahterimakan, bukan lagi tugas pemenang tender.

Penggiat ketenagalistrikan untuk pedasaan, Tri Mumpuni, pernah menyebutkan banyak program pemerintah di sektor ketenagalistrikan yang tidak berlanjut karena prosesnya bertele-tele. Padahal waktu pengerjaannya singkat. Maka ia tidak berminat mengambil bagian dalam program pemerintah.

“Coba lihat program listrik pemerintah. Tendernya makan waktu lama, sementara waktu pelaksanaan sangat singkat. Ini yang akhirnya membuat pelaksanaan program menjadi sangat singkat. Orang terburu-buru melaksanakan proyek. Ini memengaruhi kualitas hasil,” terangnya. Tri Mumpuni, karena dinilai peduli dan konsisten perjuangannya dijuluki sebagai “Wanita Listrik”.

Persoalan pemeliharaan juga menjadi perhatian. “Kontraktor hanya membangun tanpa melibatkan masyarakat. Begitu proyek selesai dibangun, tidak ada yang memelihara. Masyarakat tidak melihatnya sebagai milik mereka yang harus dijaga,” ujarnya.

Kita tentu masih ingat betapa gundahnya Presiden Joko Widodo ketika melihat beberapa proyek PLTS mangkrak. Pemerintah pusat merasa tak perlu memelihara karena sudah menyerahkan urusan pemeliharaan ke pemerintah daerah. Sementara pemerintah daerah mengaku tidak punya dana. Dari hal ini terlihat bahwa jika ingin membangun listrik di daerah terpencil, aspek pemeliharaan harus diperhatikan secara serius.

Salah satu kunci dari semua itu, menurut Tri Mumpuni, masyarakat harus dilibatkan sejak awal program, perencanaan, pelaksanaan, hingga pemeliharaan. ‘’Ini tidak sulit karena mereka membutuhkannya,” terang Tri Mumpuni.
Ia mengakui, jika tahapan-tahapan itu dilakukan dengan lengkap, akan butuh waktu lama. Sementara program pemerintah terikat oleh waktu yang sudah ditentukan.

Tri Mumpuni sudah membangun listrik di lebih dari 60 desa di seluruh Indonesia. Ia mendorong pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro untuk memenuhi kebutuhan listrik desa.

Lewat Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka), Tri Mumpuni menerangi daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh PLN. Dimulai dengan survei lapangan untuk melihat potensi sumber listrik yang ada, kemudian membangun diskusi dengan petinggi desa.

Setelah itu tim Ibeka akan berada di desa dan membangun komunikasi. “Mereka mendekati tokoh masyarakat dan tokoh agama, serta menjelaskan tujuan kegiatannya,” terangnya. Hal ini penting untuk membangun hubungan baik dengan masyarakat. Setelah itu dibentuk kelompok yang bertugas mengurus pembangkit.

“Di sana ada ketua, sekretaris, bendahara, dan teknisi, yang akan menangani pembangkit tersebut,” terangnya.
Tri menyadari bahwa agar program ini bisa berjalan dengan baik, keterlibatan dan peran serta masyarakat menjadi sangat penting. “Sejak awal masyarakat harus dilibatkan. Mereka harus merasa bahwa program pembangkit listrik yang dibangun itu milik mereka agar mereka akan menjaganya,” terangnya lagi.

Itulah yang menurutnya menjadi kunci keberlanjutan setiap program. Pemeliharaan pascapembangunan dijawab dengan iuran bulanan oleh masyarakat. Kumpulan uang iuran tersebut dipakai sebagai biaya operasional.
Tri menjelaskan, sebagian besar dari pembangkit yang ia bangun sejauh ini masih berjalan. Di beberapa lokasi harus mandek karena debit airnya berkurang.

Dari pengalaman itulah ketika ia dipercaya menangani program Penggerak Energi Tanah Air (PETA), ia berusaha menularkan cara kerjanya tersebut. Orang-orang muda dengan kemampuan luar biasa dikirim ke pelosok oleh Kementerian ESDM, bersama masyarakat membangun energi. Kebanyakan ditempatkan di daerah terpencil tanpa penerangan listrik.
Mereka bersama masyarakat merancang program, membentuk kelompok, membangun pembangkit listrik dari tenaga surya. Setelah listriknya menyala, kegiatan ekonomi masyarakat pun mulai menggeliat.

Listrik menjadi sarana untuk membangun masyarakat di pedesaan dan daerah tertinggal. Dengan listrik ekonomi masyarakat semakin maju. Sayangnya, program PETA kini ikut dipangkas.
****
Membangun listrik di pedesaan bisa dengan memanfaatkan potensi sumber energi yang ada. Indonesia punya sumber energi yang beragam, meski tidak melimpah.

Karena kebutuhan listrik di daerah terpencil belum besar, potensi sumber energi yang kebanyakan energi baru dan terbarukan ini bisa dimanfaatkan. Sebut saja energi matahari, energi angin, atau energi air.

Survei awal terhadap potensi sumber energi yang ada penting dilakukan. Setelah itu, bersama kelompok yang sudah dibentuk, mulai dirancang pembangunan pembangkit, sekaligus membicarakan bagaimana pemeliharaan dilakukan. Pendekatan ini juga akan membantu meningkatkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional.

Selama ini untuk melistriki daerah terpencil PLN menggunakan tenaga diesel yang membuat BUMN listrik ini “nombok”. Jika memanfaatkan energi baru dan terbarukan akan bisa lebih hemat. Salah satunya karena sebagian investasi disediakan masyarakat.

Tidak kalah penting, pemanfaatan energi baru dan terbarukan sebagai sumber energi di setiap desa akan meningkatkan porsi listrik ramah lingkungan.

Angka konsumsi listrik dapat menjadi ukuran kemajuan dan kemakmuran sebuah bangsa. Semakin besar konsumsi listriknya akan semakin maju atau bertambah makmur negeri tersebut. Konsumsi listrik menunjukkan besarnya aktivitas perekonomian.

Oleh karenanya, untuk memajukan perekonomian, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah terpencil, listrik harus hadir. Listrik akan menjadi sarana, dan bukan tujuan pembangunan masyarakat terpencil. Pembangunan ketenagalistrikan di daerah terpencil akan berhasil bila pendekatan yang dilakukan tidak berdasarkan program, tetapi melalui pendekatan berdasar pemberdayaan masyarakat.

BOX :
IBEKA, Membangun Bersama Masyarakat

Yayasan Ibeka telah membangun pembangkit dibanyak desa terpencil. Masyarakat selalu dilibatkan sejak awal kegiatan dilaksanakan. Banyak proyek yang berkelanjutan.

Listrik adalah pintu menuju peradaban. Dengan tersedianya listrik segala hal bisa dikerjakan termasuk pengembangan perekonomian. Yayasan Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka) meyakini bahwa untuk memberdayakan masyarakat di desa terpencil, kebutuhan listrik harus dipenuhi. Sehingga sebelum pemberdayaan ekonomi dilakukan, membangun pembangkit listrik dari sumber daya yang ada dilakukan.

Yayasan Intitute Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka) merupakan salah satu lembaga yang telah membangun listrik di lebih dari 60 desa terpencil di seluruh Indonesia. Salah satunya pembangkit listrik tenaga Mikrohidro di Desa Kamanggih di Kabupaten Sumba Timur, NTT.

Sapto Nugroho, Managing Director Yayasan Ibeka yang ditemui di kantornya banyak berkisah tentang bagaimana membangun pembangkit listrik di desa yang kebanyakan masyarakat adalah petani dan pengumpul batu.

Mulanya pada 1999, Yayasan Ibeka bersana JAICA membangun pompa air bertenaga surya di Kecamatan Kahaungu Eti. Dari sana mulai dilihat ada potensi untuk mengembangkan pembangkit listrik Mikrohidro yang bisa menerangi desa. Lalu pada 2010 mulai dilakukan survey untuk membangun pembangkit listrik mikrohidro.

Setelah melewati beberapa proses termasuk harus membela bukit akhirnya pembangkit listrik ramah lingkungan ini berhasil di bangun. “Dalam proses pembangunan semua warga sangat antusias membantu menyelesaikan pekerjaan. Termasuk membela bukit dimana perempuan dan laki-laki terlibat di sana,”terang Sapto sambil menunjukkan video terkait kegiatan pembangunan PLTMH.

Kini menurutnya masyarakat sudah bisa menikmati listrik siang dan malam. Bahkan dari kapasitas terpasang sebesar 37 KW belum semua dimanfaatkan. Salah satunya karena rumah warga yang terlalu jauh dari pusat listrik.

Menurut Sapto salah satu kunci keberhasilan dari program ini adalah keterlibatan penuh masyarakat. Oleh karenanya sebelum kegiatan inti dilakukan, Yayasan Ibeka melakukan beberapa tahapan kegiatan.

Dimulai dengan kegiatan survey yang terkait dengan aspek teknis dan sosial. “Aspek teknis terkait dengan kapasitas pembangkit, sementara aspek sosial terkait dengan kebutuhan masyarakat. Untuk melihat berapa kapasitas yang dibutuhkan masyarakat,”terang Sapto. Kegiatan awal yang kemudian dikenal dengan reconnaissance biasanya dilakukan selama tiga bulan.

Selanjutnya ada tahapan konsolidasi, dimana tim Ibeka akan hidup di tengah masyarakat, betemu dengan beberapa tokoh penting. Tujuannya tidak lain mengetahui dengan lebih baik kondisi masyarakat. “Ini juga tahap yang krusial karena ada masa mengambang atau floating mass awareness dan biasanya berlangsung selama 9 bulan,”terang Sapto. Jika masyarakat sepakat dengan rencana yang dirancang maka akan ada parsitipasi yang penuh. Tetapi jika tidak maka partisipasi masyarakat akan rendah. “Di sini penting merebut kepercayaan masyarakat,”terang Sapto.

Kemudian ada pembentukan organisasi yang lengkap mulai dari ketua, Sekretaris dan bendahara. Dari sana baru kemudian mulai kegiatan pembangunan pembangkit dengan melibatkan masyarakat. “Partisipasi masyarakat selalu dikedepankan sehingga mereka merasa memiliki dan berkewajiban merawatnya,”terangnya lagi.

Mekanisme ini telah diterapkan dibanyak wilayah yang selama ini dibangun pembangkit. Dan sejauh ini lebih banyak dari proyek tersebut yang berhasil. Bahkan dari sana kemudian lahir berbagai kegiatan pemberdayaan ekonomi.tabel-egen