Jakarta, TAMBANG – Aksi penambangan timah secara ilegal makin ramai belakangan ini. Terbaru, Kepolisian Resort (Polres) Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung membekuk belasan orang penambang liar yang beroperasi di sekitar kawasan Sungai Pemali, tepatnya di Kolong Dam I Pemali.
Tim gabungan polisi bergerilya selama dua malam melakukan penyisiran. Hasilnya, sebanyak delapan unit mesin tambang timah jenis sebu diamankan bersama tujuh orang pemilik dan enam pekerja. Malam sebelumnya, polisi menemukan dua unit alat tambang yang ditinggal kabur tuannya.
“Barang bukti yang berhasil kami amankan berupa mesin tambang tradisional dan peralatan lain yang digunakan untuk mencari bijih timah,” ungkap Kapolsek Pemali, IPTU Judit Dwi Laksono pada Selasa (14/11).
Pada saat yang bersamaan, Tim Polisi Hutan (Polhut) Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Bubus Panca merazia lokasi tambang ilegal di Parit 40 Matras, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka. Sejumlah penambang liar yang tengah bekerja, seketika kocar-kacir berusaha kabur saat digerebek petugas, dan akhirnya berhasil diamankan.
Kepala Seksi Perlindungan Hutan KPHP Bubus Panca, Rahadian mengatakan, pihaknya akan memberikan tindakan represif kepada para pencoleng tersebut. Ada tiga metode yang dilakukan dalam menertibkan aktifitas ilegal di kawasan hutan produksi itu. Mulai dari sosialisasi, peringatan, hingga tindakan tegas.
“Penambangannya harus kita hentikan karena di wilayah yang keliru. Ini masuk kawasan hutan produksi,” bebernya.
Tim KPHP Bubus Panca sudah beberapa kali melakukan tindakan pencegahan di Parit 40 Matras. Sayangnya, upaya tersebut tidak berjalan sesuai harapan. Bahkan, jumlah para penambang terus bertambah menggarong ladang hutan produksi.
Rencananya, di lokasi tersebut bakal ada penanaman sebanyak empat ribu batang pohon jenis kayu putih hingga akhir tahun ini. Untuk itu, Tim KPHP Bubus Panca akan menertibkan aksi tambang ilegal.
“Harus bersih dari aktifitas ilegal, terutama penambangan. Efek penambangan membongkar, merusak, merubah bentang alam. Kita berusaha menutup bentang alam dengan memperbaiki dan menjaga kelestarian lingkungan,” tuturnya.
Berdasarkan pengakuan para penambang liar, aktivitas haram di Parit 40 Matras disokong oleh oknum aparat tentara. Sebelum bekerja, mereka menyetorkan sejumlah uang agar bisa menambang. Besarannya sekitar Rp 300 ribu untuk tiap penambang. Ditambah lagi, ada kesepakatan pembagian hasil tambang pasir timah, jumlahnya sebesar 20 persen.
Sebagai gambaran, dalam satu hari, penambang bisa mendapatkan timah sebanyak 20-30 kilogram, paling kecil mendapat 2-3 kilogram. Meski demikian, para penambang mengaku tidak mendapat jaminan perlindungan dari oknum aparat tersebut, termasuk jika terjadi penertiban atau peralatan tambang yang hilang.
“Kalo sore hari, ada yang datang ambil potongan hasil timah. Misalnya 20 kilogram mereka ambil 4 kilogram. Tidak ada jaminan, kami juga lelah kalau ada kabar penertiban, harus bongkar mesin, angkat. Masuk lagi. Begitu seterusnya,” ungkap salah satu penambang yang tak ingin disebutkan namanya.
Aktivtas penggarongan timah secara ilegal tidak hanya merusak lingkungan, tapi juga merugikan negara. Kehadirannya makin sulit dibendung bila aparat penegak hukum terlibat ikut menyokong.