ADAKAH yang tahu dengan daerah bernama Majalengka? Ya mungkin saat ini, banyak orang mengenal Majalengka setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) di Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, pada 24 Mei 2018 lalu.
Tahukah jika Majalengka, ternyata nama daerah yang sangat tidak asing bagi dunia pertambangan khususnya bidang Minyak dan Gas (Migas) sejak jaman Belanda? Ya, Majalengka ternyata memiliki sumur minyak, dan yang pertama yang di eksplorasi oleh Belanda pada tahun 1800-an.
Di Majalengka, Belanda menurunkan J. Reerink membor empat sumur rembesan minyak yang berlokasi tepatnya di lereng Gunung Ceremai, barat daya Kota Cirebon. Untuk mengebor, J. Reerink pun memanfaatkan tenaga lembu dan berhasil menghasilkan 6.000 liter minyak. Ini merupakan produksi minyak pertama di Indonesia. Sayangnya, J. Reerink menghentikan kegiatan pengeborannya karena dianggap tidak ekonomis.
Sebelumnya diceritakan, pada pertengahan abad Ke-19, Corps of the Mining Engineers, lembaga di bawah Kerajaan Belanda, melaporkan penemuan minyak mentah di beberapa wilayah kepulauan Indonesia.
Wilayah yang dilaporkan, antara lain, Karawang (1850), Semarang (1853), Kalimantan Barat (1957), Palembang (1858), Rembang dan Bojonegoro (1858), Surabaya dan Lamongan (1858). Setelah itu Demak (1862), Muara Enim (1864), Purbalingga (1864) dan Madura (1866).
Cornelis de Groot , yang pada 1864 menjabat Kepala Departemen Pertambangan menganggap berbagai pertemuan itu sebagai tonggak sejarah perminyakan Indonesia (Abdoel Kadir, 2004).
Sejak penemuan itu, pada 1871 Belanda mulai memanfaatkannya dengan membor daerah rembesan minyak bumi untuk diolah menjadi bahan bakar minyak lampu. Dan Majalengka menjadi daerah pertama yang di eksplorasi.
Pada 1883 pemerintahan Belanda melalui insinyur Aeiko Jans Zeilker, mencoba daerah yang konsensinya ia dapat dari Sultan Langkat, Sumatera Utara. Luasnya 500 bahu, kurang lebih 3,5 km persegi. Setahun kemudian Aeilko Jans Zeiker berhasil memproduksi sekitar 8000 liter minyak.
Sepeninggal Aeilko Jans Zeilker, pemerintah Belanda melalui Jean Baptist August membangun jaringan pipa dan kilang minyak di Pangkalan Brandan.
Kilang minyak di Pangkalan Brandan selesai dibangun pada 1892. Tepat enam tahun setelahnya, pemerintah Belanda membangun tangki penimbunan dan fasilitas pelabuhan di Pangkalan Susu, untuk memudahkan pengolahan minyak mentah. Pangkalan Susu menjadi pelabuhan ekspor minyak pertama di Indonesia.
Komersialisasi minyak mentah menumbuhkan banyak perusahaan minyak asing di Indonesia. Pada akhir abad XIX lebih dari 18 perusahaan asing aktif mengusahakan sumber-sumber minyak bumi di Indonesia.
Pemerintah Belanda, membentuk perusahaan minyak di Indonesia, NV Koninklijke Nedelandsche Petroleoum Maatschappij atau Perusahaan Minyak Kerajaan Belanda di tahun 1890. Kemudian, segera mengambil alih kegiatan eksploitasi di wilayah konsensi J. Reerink di Sumatera Utara. Banyak perusahaan minyak yang kemudian tersingkir.
Untuk memperkuat modalnya, pada 1907 NV Koninklijke menggandeng Batsaafche Petroleum Maatschapy (BPM), salah satu perusahaan dari kelompok Royal Dutch Shell di Indonesia.
Sebelum kedatangan Belanda, minyak bumi dipakai warga di sekitar Selat Sumatera sebagai alat pembakar dalam pertempuran di laut. Dalam pertempuran melawan tentara Portugis, pada 1511, ditembakkan bola api yang dibungkus kain dicelupkan minyak yang dibakar. Dua kapal Portugis terbakar dan tenggelam.