Jakarta, TAMBANG – Mantan Direktur Jenderal Mineral Dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Simon Sembiring meluncurkan buku. Melalui karya tulis yang berjudul ‘Satu Dekade Nasionalisme Pertambangan’ itu, ia membeberkan pandangannya mengenai proses divestasi saham PT Freeport Indonesia, yang dinilai sarat kejanggalan.
Letak perkara yang jadi sorotan, perihal munculnya hak kelola atau participating interest Rio Tinto di tambang Grasberg sebesar 40 persen menjelang proses divestasi. Persetujuan hak kelola Rio Tinto disandarkan pada surat mantan Menteri Pertambangan dan Energi, Ida Bagus Sudjana pada tahun 1996. Masalahnya, surat itu tidak menyertakan tembusan di tingkat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pertambangan Umum.
“Kalau surat itu dari Dirjen selalu ada kode N titik sekian titik DJ. Ini enggak, N titik sekian SJ. Jadi tidak melalui Dirjen, (saat itu) Saya Kasubdit (Kepala Sub Direktorat) Dirjen Pak Kuntoro (Mangkusubroto). Kami tidak tahu itu surat, sampai saya pensiun, baru tahu Agustus 2017 kemarin,” tutur Simon saat memberi sambutan dalam peluncuran buku di Jakarta, Selasa (29/1).
Surat yang dimaksud, adalah surat Sudjana kepada James Moffet Nomor 1826/05/M.SJ/1996. Kode SJ berarti tembusan Sekertariat Jenderal. Seharusnya, menurut Simon, di sana turut tertulis kode DJP, yang berarti tembusan Direktorat Pertambangan Umum.
Kewajiban itu dijelaskan dalam Kontrak Karya (KK) pasal 28 ayat 2. Bunyinya, setiap permintaan dari Freeport wajib dilakukan melalui Dirjen Minerba.
Sebagai informasi, saat dijabat oleh Kuntoro, nama instansi tersebut masih Ditjen Pertambangan Umum, kemudian berubah menjadi Ditjen Minerba.
“Secara prosedur, itu surat menyalahi pasal 28 KK ayat 2, semua permintaan harus melalui Dirjen,” ungkap Simon, yang pernah menjabat sebagai Dirjen Minerba lalu.
Simon mengaku, selama ia menjabat di Kementerian ESDM, Freeport tidak pernah melaporkan adanya hak kelola Rio Tinto, baik melalui laporan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), atau melalui laporan Rencana Kerja Dan Anggaran Biaya (RKAB), yang wajib disampaikan kepada pemerintah tiap tahunnya.
Dengan demikian, sambung Simon, semestinya pemerintah tidak perlu menghitung valuasi divestasi Freeport dengan menyertakan hak kelola Rio Tinto.
Sebelumnya, dalam akuisisi 51,2 persen saham Freeport, pemerintah melalui PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) mengeluarkan dana sebesar USD 3,8 miliar. Hitungan itu termasuk untuk menebus hak kelola Rio Tinto di tambang Grasberg sebesar 40 persen. Divestasi mencapai titik akhir negosiasi ditandai oleh pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), yang berlangsung pada akhir tahun lalu.
Lebih lanjut, seandainya surat mantan Menteri Sudjana dianggap sah, kata Simon, tetap saja masih ada kejanggalan dalam proses divestasi. Pasalnya, harga divestasi sebesar USD 3,8 miliar itu turut menghitung hak kelola Rio Tinto di cadangan Blok A pada konsesi tambang milik Freeport. Padahal, dalam surat Sudjana disebutkan, hak kelola itu tidak mencakup Blok A.
“Di sini dikatakan, konsen Menteri masalah 40 persen PI (participating interest) Rio Tinto except processing in Block A. Artinya apa, Blok A tidak termasuk. Jadi seandainya pun surat Pak Sudjana benar, tetap saja salah, karena tidak termasuk Blok A,” jelas Simon.
Selain mengulas perihal divestasi Freeport, buku itu menjelaskan juga mengenai implementasi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara. Pokok pembahasannya tertuju pada komitmen hilirisasi mineral di tanah air.
Untuk diketahui, peluncuran buku karya pria yang pernah menang di meja arbitrase saat mengawal proses divestasi Newmont itu, dihadiri oleh sejumlah tokoh di sektor pertambangan, di antaranya pakar kelautan dan pengelolaan lingkungan, Rokhmin Dahuri, mantan Menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro, mantan Gubernur Papua, Laksdya Freddy Numberi, Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono, serta pakar hukum pertambangan Hikmahanto Juwana