JAKARTA—TAMBANG. INDUSTRI LNG dunia tepat berusia 50 tahun, pada 2014. Para pemain industri LNG bertebaran di seluruh dunia. Meski demikian, menurut lembaga riset dan konsultan Wood Mackenzie, permintaan LNG oleh negara-negara Asia jauh lebih rendah dari yang diramalkan.
Buletin yang banyak mengupas masalah gas, Gas Today, dalam terbitannya hari ini memberitakan, permintaan di pasar yang sedang tumbuh, yakni Cina, tidak tumbuh sebesar yang diharapkan. ‘’Sementara permintaan di pasar yang sudah mapan seperti Korea Selatan, terus turun,’’ kata Analis Utama Wood Mackenzie-Global LNG, Giles Farrer.
Permintaan dari Asia yang lebih rendah, tahun lalu ikut mendorong jatuhnya harga LNG di pasar spot. Harga LNG mencapai puncak pada 14 Februari 2014, yakni US$ 20/ juta british termal unit, menjadi di bawah US$ 10/ juta british termal unit pada 27 November 2014.
Kata Farrer, ‘’Harga LNG turun pada musim panas karena masuk pasokan baru, LNG dari Papua Nugini. Pasar Pasifik kini juga bisa dipenuhi dari Papua Nugini. Setelah harga minyak Brent jatuh, harga LNG semakin terpuruk,’’ kata Farrer.
Sebagaimana tertulis dalam laporan Wood Mackenzie, 2014 merupakan tahun jawaban atas penantian panjang area Pasifik terhadap pasokan LNG. Mulai Mei 2014, Papua Nugini mulai menghasilkan LNG dalam kapasitas penuh dari dua kilangnya hanya dalam tempo lima bulan. Ini kebalikan dari kilang LNG di Angola, yang mulai beroperasi pada Juni 2013, lalu ditutup pada Mei 2014 untuk perbaikan.
Sonatrach, BUMN minyak dan gas dari Aljazair, juga memulai produksi LNG di kilang Arzew GL3Z pada Oktober, dan perusahaan asal Inggris, BG, mulai mengapalkan LNG-nya dari proyek QCLNG di Australia, pada 5 Januari 2015.
Foto: Komplek LNG di Papua Nugini.
Sumber: lngworldnews.com