Jakarta-TAMBANG. Selama 10 tahun terakhir, realisasi lifting minyak tidak pernah mencapai taget. Selain tak memenuhi target, sejak 2004 minyak yang diproduksi juga terus menurun, dari 1037,8 ribu barel per hari (bph) menjadi 794 ribu (bph) pada 2014. Padahal pada 2003, realisasi sempat lifting sempat surplus 52 ribu bph dari target APBN-P 2003, 1.092 ribu bph.
Realisasi lifting minyak sempat mendekati target yang ditetapkan APBN-P 2009 dan 2010. Bahkan pada 2010, selisih antara target dengan realisasi sempat mencapai 11,1 ribu bph. Namun selisihnya kembali melebar hingga 128,7 ribu bph pada 2013.
Adapun penentuan target lifting dalam APBN-P 2015 lebih rendah dari prediksi sebelumnya yang sebesar 849.000 – 900.000 bph. Menteri ESDM Sudirman Said, mengatakan akan berat bila menargetkan lifting minyak diatas 825.000 bph. Sebab jumlah lifting minyak berdasar pada kemampuan produksi sumur-sumur minyak yang ada saat ini.
Tak pelak, penurunan lifting minyak ini nantinya akan sangat berpengaruh pada penerimaan negara. Apalagi harga minyak di pasaran internasional sedang berada di level terendah. Bahkan Direktur Jenderal Anggaran Kementrian Keuangan Askolani mengatakan turunnya mencapai Rp 100 triliun.
Adapun perusahaan yang paling banyak menyumbang lifting minyak di Indonesia adalah PT Chevron Pasifik Indonesia dengan produksi selama 2014 mencapai 280.000 bph. Sementara perusahaan BUMN, PT Pertamina menyumbang lifting sebesar 128.400 bph.
Berdasarkan data Kementerian EDSM tahun 2015, lima besar penyumbang lifting tersebar yakni, Chevron 280 ribu bph, Pertamina EP 128,4 ribu bph, Mobile Cepu Ltd (Exxon) 99,6 ribu bph, Total 62,6 ribu bph, dan Pertamina PHE ONWJ 41,3 bph.
Kardaya, Ketua Komisi VII DPR RI, mengatakan bahwa kinerja SKK Migas saat ini belum optimal. Hal ini dapat terlihat dari lifting migas yang belum mencapai target dan malah cenderung menurun. Selain itu dia mengatakan, kinerja yang belum optimal juga terlihat dengan belum adanya sumur minyak baru yang bisa dieksplorasi.
“Sampai saat ini belum ada penjajakan baru untuk menemukan sumur-sumur baru,” kata Kardaya.
Kemudian, kinerja SKK juga belum terlihat optimal dengan terbiarkan kosong kursi Deputi SKK Migas. Dia mengibaratkan, SKK Migas dengan ada beberapa kursi pimpinannya yang kosong seperti pasukan berperang tapi kekurangan personil.
Totok Daryanto, Anggota Komisi VII, DPR RI, mengatakan banyak faktor yang membuat target lifting minyak dan gas bumi yang makin anjlok. Contohnya, perijinan yang berbelit-belit, punya target pada perijinan yang yang sudah berjalan agar diusahakan tepat waktu, sehingga tidak mengganggu target lifting.
Saat ini tidak ada progress berarti dalam solusi SKK Migas, dalam beberapa tahun belakangan ini SKK Migas ternyata mengalami banyak kebuntuan. Hal itu karena lemahnya koordinasi dan minim terobosan, padahal sudah ada insentif yang diberikan oleh Pemerintah selama ini.
“Kita memang tidak sedang menyederhanakan persoalan, tapi jika setiap tahun SKK Migas mengungkapkan permasalahan serupa namun tak berubah dan tak ada kemajuan, sehingga sangat wajar lifting kita terus merosot setiap tahun,” kata Totok.
Totok menegaskan, persoalan teknis yang dihadapi SKK Migas sesungguhnya merupakan masalah alami. Oleh karena itu, menurutnya yang terpenting adalah solusi untuk mengatasinya. Terlebih, ia mengingatkan bahwa tahun ini merupakan tenggat akhir realisasi produksi minyak nasional yang telah diamanatkan Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2012. Peraturan tersebut memuat instruksi presiden agar produksi minyak nasional paling minimal di tahun 2014 mencapai 1,01 juta barel per hari.
“Inventarisasi masalah telah cukup banyak dilakukan selama ini oleh SKK Migas, baik dari internal maupun eksternal. Oleh karenanya pada akhirnya tinggal kemampuan ruang eksekusi dan koordinasi yang lebih intensif dengan pemangku kepentingan lain. Kemudian pemerintah harus mendorong percepatan regulasi dan birokrasi yang lebih efisien karena hal itu telah menjadi kendala non teknis signifkan dalam eksplorasi maupun ekploitasi migas,” tandasnya.