Jakarta, TAMBANG – Realisasi reklamasi lahan pasca tambang PT Arutmin Indonesia (Arutmin) mencapai 9 ribu hektare (ha) hingga Kuartal III 2023. Capaian ini di atas 50 persen dari keseluruhan konsesi yang sudah dibuka yang mencapai 17 ribu ha.
“Dari 17.000-an hektar itu, yang sudah kami reklamasi atau reconturing, sampai akhir September 2023 kemarin sekitar 9 ribuan hektare atau di atas 50 persen,” ujar Manager Safety Health Environment and Community (SHEC) R. S. Subiyakto saat ditemui di kawasan tambang Asam Asam, dikutip Rabu (25/10).
Di dunia pertambangan, capaian tersebut termasuk program reklamasi yang tertinggi di Indonesia. Menurut dia, torehan ini tidak lepas dari komitmen Arutmin dalam menerapkan praktik pertambangan yang baik atau good mining practices (GMP).
“Itu untuk ukuran tambang, termasuk yang tertinggi di Indonesia. Indeks rasio reklamasinya, karena di atas 50 persen,” beber dia.
Praktik GMP meliputi pengelolaan teknis pertambangan, penerapan konservasi mineral dan batubara, pengelolaan keselamatan pertambangan, pengelolaan lingkungan hidup pertambangan, reklamasi, dan pascatambang, pemanfaatan teknologi.
Adapun sisanya yang 8 ribu ha masih dalam tahap operasi produksi sehingga belum dilakukan reklamasi pasca tambang. Meski begitu, ketika ada satu pit atau lokasi penambangan selesai, Subiyakto menyebut pihaknya akan langsung melakukan penimbunan dan penghijauan kembali.
“Kenapa yang lain belum direklamasi? Karena masih aktif, masih bentuk tambang, masih dipakai. Tapi intinya paralel, begitu ada satu lokasi sesuai kemajuan tambang selesai, batunya langsung nutup, batunya langsung nutup. terus begitu seterusnya sampai rencana akhir,” jelas dia.
Dalam praktiknya, kegiatan reklamasi yang dilakukan anak usaha PT Bumi Resources Tbk (BUMI) ini sudah sesuai regulasi yang ditetapkan pemerintah. Seperti penataan lahan, penebaran tanah pucuk, pengendalian erosi dan sedimentasi, gradien chanel, check dam, pembuatan Riprap, Penanaman Gamal, penebaran Cover Crop dan penebaran mulsa.
“Tanah asli dan tanah tambang pasti berbeda. Tapi kan pada saat penanaman kita kasih pupuk, ada perlakuan-perlakuan di sini. Termasuk perlakuan tanah itu dimulai saat kita menyimpan di top soil stock itu ada perlakuannya,” tutur dia.
Dalam proses revegetasi, komposisi tanaman yang ditanam terdiri dari 40 persen tanaman lokal dan 60 persen tanaman non lokal dengan jarak 3X4 meter. Jumlah populasi tanaman per per hektare di area pasca tambang Arutmin minimal 834 pohon.
“Kalau kami punya standar, maksimal ditumpuk itu ketinggian hanya boleh maksimal 20 meter. Nggak boleh lebih dari itu. Karena kalau lebih dari itu, kalau di material tanah ada istilahnya kepadatan material. Kalau terlalu tinggi, padat tanah itu. Begitu proses tanam, akan jadi keras, gak bisa tembus,” ucapnya.
Salah satu contoh area yang sudah direklamasi oleh Arutmin adalah Pit Ata Selatan (Atasela) yang masuk pada Blok Ata. Pit Atasela mulai ditambang pada tahun 2003 saat izinnya masih berupa Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan telah selesai ditambang pada tahun 2012 dengan total bukaan lahan tambang seluas 296,74 ha.
Seluas 218,39 ha telah direklamasi dan direvegetasi, sedangkan 76,2 ha berupa danau pasca tambang, dan fasilitas berupa jalan pemantauan seluas 2,12 ha.
Area Pit Ata Selatan mulai direklamasi sejak tahun 2009 dengan melakukan proses pengaturan permukaan lahan (regarding), penebaran tanah pucuk (spreading soil), pengendalian erosi, revegetasi dan perawatan. Adapun jenis tanaman yang digunakan pada reklamasi ini yaitu pohon yang cepat tumbuh seperti Sengon, Jabon, Johar, Kayu Putih, Eukaliptus, Dadap dan Akasia.
Juga ditanami tanaman multiguna seperti Meranti, Ulin, tambaratan, Sungkai, Pulai, Binuang, Bungur, tarap, Mahoni dan buah-buahan di antaranya Mangga, Rambutan, Nangka, Cempedak, Jambu-jambuan.
Sebagai informasi, luas konsesi perusahaan tambang batu bara di Kalimantan Selatan ini mencapai 34.207 hektare dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang dikeluarkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun 2020 sampai tahun 2030. Jumlah tersebut mengalami penciutan sebesar 40,1 persen dari awalnya 57.107 hektare.