Jakarta, TAMBANG – PT Adaro Energy mengalami penurunan laba periode berjalan (profit for the period) di Kuartal-I 2018 (1Q18). Anjlok sekitar 20 persen dibandingkan periode yang apakah Kuartal- I 2017 (1Q17).
Berdasarkan laporan keuangan Adaro per 31 Maret 2018, Laba periode berjalan tercatat sebesar USD87,6 juta, selisih USD22 juta lebih rendah dari 1Q17 yang mencapai USD109,9 juta.
Merosotnya laba periode berjalan ini dibarengi dengan penurunan laba inti (core earnings) sebesar 17 persen, dari USD132 juta pada 1Q17 menjadi USD109 juta pada 1Q18.
Saat dikonfirmasi, Corporate Communication Adaro, Febriati Nadira membenarkan, besaran laba inti tersebut yang turun 17 persen.
“Itu core earnings, yaitu our profit excluding non-operasional items,” ungkapnya kepada tambang.co.id, Jumat (27/4).
Asal tahu saja, meski laba menurun, di sisi pendapatan, Adaro mengalami peningkatan. Pendapatan bersih perusahaan naik 5 persen menjadi USD764 juta. Pasalnya, ada kenaikan harga jual rata-rata komoditas sebesar 14 persen, padahal volume penjualan turun 9 persen.
Kata Nadira, penurunan laba inti dipengaruhi oleh kenaikan kurs referensi harian dari suku bunga pinjaman (London Interbank Offered Rate/Libor). Selain itu, faktor lainnya adalah kenaikan beban pokok pendapatan sebesar 6 persen dan kenaikan beban operasional sebesar 26 persen.
Sebelumnya, tambang.co.id memberitakan, Adaro merevisi pencanangan EBITDA di tahun 2018, dari awalnya USD1,3-1,5 miliar menjadi USD1,1-1,3 miliar. Ternyata benar, di kuartal pertama ini ada realisasi EBITDA yang menurun 1 persen menjadi USD273 juta.
Soal produksi, sepanjang Januari-Maret 2018, volumenya mencapai 10,95 juta ton, dan terjual 10,93 juta ton. Dari jumlah tersebut, Adaro mengalokasikan produksinya ke pasar domestik (Domestic Market Obligation/DMO) sebesar 22 persen. Untuk pasar ekspor terbesarnya berada di Jepang, yang mencapai total penjualan 15 persen.
Untuk diketahui, dengan besaran 22 persen, Indonesia menempati alokasi terbesar bagi produksi Adaro. Dalam keterangan resminya, secara tersirat, salah satu faktor penurunan laba Adaro diakibatkan oleh kebijakan DMO untuk kelistrikan yang dibanderol USD70 per ton. Harga tersebut dibenturkan dengan harga acuan Global New Castle yang selama 1Q18 rata-rata mencapai USD102,41 per ton.
Oleh karena itu, Adaro menempuh upaya efisiensi. Salah satunya dengan menurunkan nisbah kupas atau stripping ratio sebesar 1 persen menjadi 54,05 MBCM pada 1Q18.