Jakarta – TAMBANG. Meskipun Indonesia dikenal sebagai eksportir mineral dan batu bara, namun ironisnya pengembangan industri baja masih terkendala oleh keterbatasan bahan baku dan energi. Saat ini, produksi baja Indonesia justru bergantung pada pasokan impor bahan baku dari Brazil. Karenanya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menawarkan alternatif menuju kemandirian lewat baja unggul laterit.
“Kebutuhan baja nasional tiap tahun selalu meningkat. Namun, baja lunak yang diproduksi oleh Krakatau Steel bahan bakunya kita import dari Brazil. Membawanya saja butuh waktu 3 bulan. Ini artinya kita memiliki ketergantungan,” ujar Kepala LIPI, Iskandar Zulkarnain, dalam acara diskusi publik yang digelar di Gedung LIPI, Jakarta, Rabu (17/12).
Indonesia yang wilayahnya terbentang luas dengan jumlah penduduk mendekati 250 juta jiwa, tahun 2020 diprediksi membutuhkan 20 juta ton baja. Untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku baja, LIPI mengaku telah berhasil mengembangkan jenis baja berkualitas unggul dari bijih nikel berkadar rendah (limonit). Pengembangan ini dilakukan oleh Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI bersama Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Pengolahan Mineral LIPI Tanjung Bintang Lampung.
Endapan bijih besi-nikel laterit merupakan lapisan atas dari bijih nikel laterit. Lapisan ini mengandung besi yang lebih tinggi dan nikel yang lebih rendah. Di Indonesia, cadangan bijih nikel jenis ini jauh lebih banyak ketimbang bijih nikel kadar tinggi. Jumlahnya mencapai miliaran ton. Kalau bijih ini bisa dimanfaatkan maka tak perlu lagi mengandalkan impor.
Bila dilebur menjadi baja, bijih jenis ini akan menghasilkan baja dengan kandungan nikel antara 2-3%. LIPI menyebut bahwa angka ini menjanjikan munculnya sifat-sifat unggul, khususnya untuk menghasilkan baja kekuatan tinggi yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Tak hanya di dalam negeri, kualitas unggul itu juga akan membuka kesempatan bagi Indonesia untuk bermain di pasar global.
“Baja Laterit ini memiliki keunggulan lebih dibanding baja yang ada di pasaran. Yaitu sifat baja dengan kekuatan tinggi, tahan terhadap korosi atau karat, dan dia lebih mudah untuk dilas karena keberadaan nikel di dalamnya,” jelas Iskandar.
Selain itu, dalam hal energi, sebenarnya sumber daya dalam negeri juga bisa dimanfaatkan untuk produksi Baja Leterit. Sementara bijih laterit banyak terdapat di Sulawesi dan Maluku Utara, keberadaan endapan kokas (batu bara metalurgi / coking coal) di Kalimantan Tengah bisa menjadi solusi.