BARISAN pohon pinus menghiasi Karangsambung, kawasan kapur sekitar 20 km dari Kota Kebumen, Jawa Tengah. Rindangnya pepohonan menyejukkan kawasan ini. di balik indahnya panorama alam ini terdapat nilai sejarah geologi yang dahsyat.
Kondisi alam dan bebatuan di Karangsambung menunjukkan sejarah pembentukkan dan perkembangan geologi, serta kedinamikaan planet bumi. Itu yang membuat para mahasiswa ilmu kebumian di Yogyakarta, Bandung, Semarang dan kota lain di Jawa, bahkan hingga Prancis, Jepang, Amerika Serikat (AS) rajin berkunjung ke Karangsambung.
Ketenaran Karangsambung berawal dari gagasan ahli geologi terkemuka, Prof. Dr. Ir. Sukendar Asikin, Ph.D pada 1964. Ia berhasrat membuat sebuah laboratorium geologi alam. Enam tahun sebelumnya Sukendar mengikuti kursus geologi lapangan di Rocky Mountain, AS. Ia menikmati peralatan laboratorium yang begitu lengkap, termasuk obyek penelitiannya.
Ide itu disampaikan Sukendar ke sahabatnya, Prof. Dr. John Ario Katili, pemimpin Lembaga Geologi dan Pertambangan Nasional, yang langsung menyetujuinya. Mereka berkeliling mencari lokasi yang terbaik guna membangun laboratorium alam geologi.
Seluruh wilayah belahan bumi Nusantara mereka kelilingi, daerah yang terjal pun dihadapi. Mulai dari berjalan kaki hingga mengunakan kuda untuk menjangkau lokasi yang cocok. Dari perjalanannya, ada beberapa lokasi yang cukup baik untuk dibangun laboratorium alam geologi, yakni di Singkarak, Sumatera Utara (Sumut). Kemudian Padalarang, Ciletuh di Jawa Barat (Jabar). Serta di Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah (Jateng).
Sukandar Asikin dan John Ario Katili-belakangan menjadi guru besar ITB-memutuskan membangun laboratorium alam geologi di Karangsambung, karena variasi struktur dan jenis batuan di kawasan yang relatif tidak luas.
Batu-batuan yang tersebar di sejumlah tempat seperti areal pesawahan, tepi jalan, bebukitan, tepi sungai, diprediksi merupakan batuan hasil pertemuan samudra dan benua sekitar 65-120 juta tahun lalu. Di lokasi ini terdapat batu gamping dengan fosil berupa foraminifera besar, ganggang merah, ganggang hijau. Ditemukan juga pecahan-pecahan kuarsa, rijang dan bantuan metamorf.
Ada sekitar 30 situs geologi yang berada di kawasan cagar alam geologi sekitar 22.000 hektar ini. Sukendar Asikin dan Joh Ario Katili beserta ahli geologi lainnya, melakukan penelitian lebih lanjut.
Daerah ini ternyata pernah menjadi batas lempeng konvergen berupa jalur subduksi pada zaman kapur yang berlanjut hingga pegunungan Meratus, Kalimantan. Lahirnya teori tektonik lempeng dari kawasan ini.
Wajar jika kemudian kawasan ini disebut sebagai kotak hitam bagi segala proses alam semesta. Di samping memiliki bentangan alam yang sangat indah, juga memiliki fenomena alam geologi yang unik, langka dan menarik.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kini mengelola kawasan ini dengan bendera Balai Informasi dan Konservasi Kebumian. Laboratorium alam geologi ini memiliki fasilitas pendukung berupa tempat penginapan seperti asrama, perpustakaan, dan bengkel kerja kerajinan batu mulia.
Prof. Sukendar Asikin, telah wafat pada Maret 2013 di RS Santo Yosef Bandung. Sedangkan Prof. John Aria Katili wafat lebih dahulu, pada 2009. Tapi peninggalannya, situs Karangsambung tetap abadi. Pada 2006 silam, Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu menjabat Presiden RI, telah meresmikan Karangsambung sebagai cagar alam geologi di Indonesia.
(Sumber: Majalah TAMBANG, edisi 95/Mei 2013)