Jakarta-TAMBANG. Pemerintah melalui Kementerian ESDM terus menggalakan program transparansi untuk membenahi sektor minyak dan gas (Migas). Selama ini sektor itu dianggap sebagai ladang untuk memeras uang haram oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari berbagai LSM mengatakan selain Migas, ada sektor lain yang korupsinya dinilai lebih masif dan melibatkan para pejabat daerah. Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah mengatakan, korupsi masif itu terjadi di sektor pertambangan mineral batu bara (minerba).
“Di minerba, praktek korupsinya terlihat lebih nyata, kasat mata,” ujarnya dalam pernyataan sikap bersama 50 lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Anti-Mafia Tambang di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) kemarin (7/12).
Maryati mengatakan, jika korupsi sektor migas menggunakan skema kongkalikong yang cukup rumit, korupsi minerba lebih terang-terangan. Modusnya, pejabat daerah memberikan Izin usaha Pertambangan (IUP) kepada perusahaan yang mestinya tidak layak mendapat izin. Di situlah, pejabat daerah menerima uang suap dari oknum pengusaha.
Maryati menyebut, pemberian izin pertambangan itu bisa jadi alat bagi pejabat daerah untuk mencari modal maju pilkada, atau menumpuk pundi-pundi harta jelang lengser. “Akibatnya, izin-izin itu diobral tanpa memperhatikan aspek lingkungan maupun administrasi,” ucapnya.
Sejak era otonomi daerah, pejabat setingkat bupati/wali kota memang memiliki kewenangan mengeluarkan izin pertambangan di wilayahnya. Berdasar penelusuran Koalisi Anti Mafia Tambang, ada 12 provinsi yang menjadi sorotan, yakni Sumatra Selatan, Jambi, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.
Sebagian besar terkait tambang batu bara, ada pula tambang timah atau mineral lainnya. Menurut Maryati, di 12 provinsi tersebut, koalisi menemukan sekitar 70 persen dari total 10.918 IUP sektor minerba diberikan kepada perusahaan-perusahaan skala kecil dan menengah.
Dari jumlah itu, ada 4.672 IUP untuk perusahaan yang statusnya tidak clean and clear, misalnya lahan operasinya tumpang tindih dengan perusahaan lain, atau tidak memenuhi kewajiban penyetoran dana jaminan reklamasi pascatambang.
Sementara itu peneliti dari Article 33 Indonesia, Triono Basuki menambahkan, banyak pejabat daerah yang memberikan izin tambang asal-asalan. Akibatnya, ada 1,372 juta hektare izin tambang berada di kawasan hutan konservasi yang mestinya dilarang.
“Inilah yang menyebabkan kerusakan lingkungan dahsyat di wilayah-wilayah pertambangan,” katanya.
Obral izin pertambangan oleh pejabat daerah juga memunculkan persoalan besar lain, yakni hilangnya triliunan rupiah potensi penerimaan negara. Menurut Triono, dari 10 ribu lebih perusahaan pemegang IUP, hanya separuh yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). “Artinya, ada lima ribu perusahaan yang bertahun- tahun mengeruk kekayaan alam Indonesia tanpa membayar pajak sepeser pun,” ucapnya.
Direktur Jenderal Minerba, R Sukhyar menyampaikan, sebelum pihaknya melakukan koordinasi dan supervisi dengan KPK jumlah IUP yang terdaftar mencapai 10.918 perusahaan. Dari jumlah tersebut yang belum clean and clear (CnC) mencapai 4.877 perusahaan. Namun setelah dilakukan koordinasi dan supervisi data per 1 Desember 2014 jumlah IUP menjadi 10.648 perusahaan dan yang belum CnC sebanyak 4.672 perusahaan.
“Jumlah yang belum CnC ini masih hampir 50 persen. Kami akan memberi waktu sampai Juni 2015 untuk menyelesaikannya. Setelah itu tidak ada lagi kesempatan. Kalau tidak CnC maka dicabut. Sampai sekarang sudah ada 544 IUP yang dicabut,” kata Sukhyar.
bagus sekali, teruskan perjuangan anda. selama ini organisasi profesi pertambangan, asosiasi pengusaha, dan perguruan tinggi tidak pernah peduli masalah ini.