Jakarta, TAMBANG – Di pusat Kota Jakarta, tepatnya Lapangan Medan Merdeka, berdiri sebuah tugu yang menjulang setinggi 132 meter. Monumen Nasional atau yang biasa disebut ‘Monas’, dibangun di lahan seluas 80 hektar (ha) pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, 17 Agustus 1961. Pembangunan Monas ditujukan untuk mengenang sejarah perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia atas kemerdekaan bangsa.
Konsep pembangunan Monas dirancang oleh arsitek Indonesia, yaitu Soedarsono, Frederich Silaban, dan Ir. Rooseno. Struktur utama Monas terdiri dari beberapa bagian utama, yaitu museum sejarah nasional, pelataran bawah (cawan), tugu Monas, pelataran atas, dan lidah api.
Pucuk mahkota Monas yang berbentuk lidah api menyala dengan berat 14,5 ton perunggu, dibalur dengan emas seberat 50 kilogram (kg). Awalnya lapisan emasnya sekitar 30-an kg. Tahun 1995, saat Indonesia memasuki usia merdeka ke-50, lapisan emasnya ditambah hingga mencapai 50 kg. Pucuk kilau Monas membawa cita-cita bermakna mendalam bagi bangsa. Semangat perjuangan rakyat Indonesia yang menyala dan tak pernah padam.
Di balik pucuk itu, ada sosok juragan asal Aceh, Teuku Markam. Teuku adalah orang yang dikenal dekat dengan Presiden Soekarno. Ia juga pernah menjadi ajudan dari Jenderal Gatot Soebroto saat berdinas di kemiliteran.
Untuk menghiasi pucuk tugu negara itu, emas yang dibawa oleh Teuku Markam yang juga seorang konglomerat zaman Orde Lama, berasal dari sebuah desa di pedalaman Provinsi Bengkulu. Desa Lebong Tandai.
Tambang Emas Batavia Kecil
Dahulu, wilayah Bengkulu pernah menjadi rebutan berbagai pihak. Selain sebagai penghasil rempah seperti buah pala, ada juga daerah yang menyimpan kekayaan alam dengan potensi yang luar biasa. Daerah ini pernah menjadi penghasil emas terbesar di zaman Hindia-Belanda. Desa Lebong Tandai atau yang dulunya disematkan nama “Batavia Kecil”, terletak di Kecamatan Napal Putih, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu.
Desa ini terletak jauh dipedalaman. Untuk mencapai wilayah lebong, Belanda membuat jalur lori sepanjang 35 kilometer (km). Tujuannya untuk mengangkut emas keluar dari desa. Setelah itu, emas dibawa ke pelabuhan untuk diangkut dengan kapal laut. Ada beberapa perusahaan Belanda yang pernah tercatat melakukan aktivitas pertambangan di sini. Mijnouw Maatschapaij Redjang Lebong pada 1896 dan Mijnbouw Maatschappij Simau pada 1901.
Produksi emas Lebong dilakukan secara besar-besaran. Angkanya mencapai 94,5 persen dari seluruh hasil ekspor emas Hindia-Belanda di tahun 1936. Menjadikan Batavia Kecil sebagai pengekspor utama emas dan perak Hindia-Belanda masa itu.
Tahun 1947, masa dimana Belanda angkat kaki dari Indonesia, aktivitas penambangan emas diambil alih oleh masyarakat setempat. Masyarakat juga memanfaatkan jalur lori untuk transportasi motor lori ekspres (molek) sebagai akses keluar masuk desa.
Gejolak pengelolaan tambang emas Lebong Tandai kembali muncul, setelah perusahaan pertambangan asal australia, PT Lusang Mining yang beroperasi sejak 1981-1995, ingin melakukan perluasan wilayah pertambangan pada 1986. Warga yang menolak relokasi harus siap menghadapi berbagai konsekuensi. Beberapa di antaranya seperti dilarang menambang emas dan tidak mendapatkan akses dalam penggunaan molek.
Tahun 1995, menjadi angin segar bagi masyarakat Lebong Tandai. Berakhirnya pengelolaan tambang emas oleh PT Lusang Mining membuat warga yang dulu direlokasi bisa kembali menjalani hidup ke desanya. Hingga kini, ada sekitar kurang lebih 200 kepala keluarga. Mayoritas dari mereka bekerja sebagai penambang emas tradisional. Akses jalan menuju desa juga sudah dibuka, meskipun medannya masih sulit dan berlumpur.
Baca Juga: “Gold”, Skandal Tambang Emas Bre-X di Busang, Kalimantan ala Hollywood