Jakarta-TAMBANG. Pemerintah Indonesia terancam gagal mendapatkan ganti rugi atas pencemaran laut akibat kecelakaan kapal tanker. Salah satu penyebabnya karena penanganan tumpahan minyak tidak sesuai dengan mekanisme yang di buat Revolving Fund Commite. Ini yang terjadi pada pencemaran Pantai Nongsa, Batam akibat kecelakaan kapal tanker di Johor-Malaysia.
Konon rencana klaim tersebut terganjal hilangnya barang bukti tumpahan minyak di kawasan tersebut yang bakal dijadikan sampel untuk mengklaim ke Revolving Fund Committee. Hal ini karena tumpahan minyak tersebut sudah ditangani Badan Lingkungan Hidup dan nelayan di sekitar Pantai Nongsa, Batam.
Dari penuturan salah satu perwakilan dari Badan Lingkungan Hidup Kota Batam pihaknya tidak mengetahui adanya SOP dari Revolving Fund Committee. Selain itu, pihaknya juga khawatir bila limbah tumpahan minyak tidak segera ditangani maka wisatawan dan nelayan yang berada di Pantai Nongsa akan mengalami gangguan kesehatan.
Berangkat dari pengalaman itulah, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kemenko Kemaritiman melakukan sosialisasi penanganan tumpahan minyak di Kantor Kemenko Kemaritiman Jakarta, Rabu (08/02/2017).
Sosialisasi tersebut dilakukan sebagai tindak lanjut penanganan tumpahan minyak akibat kecelakaan dua kapal asing di Pelabuhan Pasir Gudang Johor Malaysia yang limbahnya terkena arus laut hingga ke Pantai Nongsa, Batam, Kepulauan Riau.
Materi yang disosialisasikan adalah Standard Operating Procedure (SOP) penanganan tumpahan minyak bersama di Selat Malaka dan Singapura yang dibuat oleh Revolving Fund Committee. Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Arif Havas Oegroseno ketika memimpin kegiatan sosialisasi tersebut mengatakan bahwa SOP tersebut dipilih karena sebelumnya telah ada MoU (Memorandum of Understanding) antara Indonesia, Malaysia, Singapura dan Dewan Selat Malaka (Malacca Strait Council) pada tahun 1981.
MoU tersebut mengatur tentang mekanisme penganganan bersama tiga negara terhadap polusi minyak yang disebabkan oleh kegiatan kapal atau kecelakaan kapal di wilayah Selat Malaka dan Singapura.
“Dari MoU itu ada dana trust fund (dana perwalian, red.) yang disediakan khusus untuk penanggulangan dampak limbah tumpahan minyak dari kapal,” ujar Havas. Untuk itu, pemerintah bermaksud mengklaim dana tersebut dari Revolving Fund Committee, pengelola dana Trust Fund, untuk menangani masalah minyak di Pantai Nongsa, Batam. “Malaysia dan Singapura menjalankan SOP Revolving Fund Committee dengan cepat sehingga mereka saat ini sudah mendapatkan dana untuk penanggulangan tumpahan minyak dari kecelakaan kapal di Johor,” tambah mantan Dubes RI untuk Belgia itu.
Dalam kesempatan yang sama, Asisten Deputi Bidang Keamanan dan Ketahanan Maritim Basilio Dias Araujo meminta para pemangku kepentingan yang hadir untuk memahami SOP Revolving Fund tersebut khususnya untuk penanganan masalah tumpahan minyak di wilayah Selat Malaka. “Bila rekan-rekan di lapangan menemukan tumpahan minyak, jangan ambil sekop, tapi segera ambil handphone dan telpon NOC (National Operation Center) agar tim investigasi segera turun,” tegasnya.
Tim investigasi tersebut, lanjutnya salah satunya terdiri dari anggota revolving fund committee.
Lebih jauh, Basilio mengatakan kepada peserta sosialisasi agar menginformasikan nomor NOC yakni (021) 3456614 serta nomer kontak KPLP (Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai) kepada masyarakat di wilayah mereka. “Agar koordinasi dan penanganannya bisa cepat,” pintanya.
Peserta yang diundang dalam sosialisasi adalah semua pemangku kepentingan yang berada di kawasan Selat Malaka, antara lain Kepala Badan Lingkungan Hidup Provinsi Riau, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Aceh, Provinsi Sumatera Utara, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Karimun, Kepala Kantor Pelabuhan Kota Batam, Kepala Kantor Pelabuhan Aceh Timur dan Kepala Kantor Pelabuhan Bengkalis. Selain itu, Kemenko Kemaritiman juga mengundang Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG), Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional (HPI) Kementerian Luar Negeri serta Dirjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Indonesia telah memiliki instrumen hukum untuk menangani tumpahan minyak di laut, yakni Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109/2006 tentang penangulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut. Peraturan tersebut merupakan implementasi dari UU Nomer 17/1985 tentang pengesahan ratifikasi konvensi UNCLOS (United Nations Conventions on the Law of the Sea).
Peraturan tersebut digunakan untuk menangani dampak kegiatan pelayaran, kegiatan pengusahaan minyak dan gas bumi, serta kegiatan lainnya mengandung risiko terjadinya kecelakaan yang dapat mengakibatkan terjadinya tumpahan minyak di dalam negeri.