Jakarta, TAMBANG – Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Kejagung RI menetapkan mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba), Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono sebagai tersangka baru dalam kasus mega korupsi tata niaga PT Timah Tbk.
“BGA kami tingkatkan statusnya sebagai tersangka. Dia ditetapkan dalam kapasitasnya sebagai Dirjen Minerba Kementerian ESDM 2015-2020,” kata Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus Kejagung RI, Kuntadi dalam konferensi pers, Rabu (29/5).
Saat menjabat Dirjen Minerba, Bambang Gatot Ariyono diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam proses Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) IUP PT Timah pada tahun 2019. Kata Kuntadi, perubahan RKAB yang dilakukan Bambang tanpa melalui kajian yang jelas dan belakangan diketahui hanya untuk kepentingan transaksi timah ilegal.
“Perubahan ini tidak sama sekali dilakukan dengan kajian apapun dan belakangan kita tahu dalam rangka untuk fasilitasi transaksi timah yang diproduksi secara ilegal,” tambahnya.
Bambang merupakan tersangka yang ke-22 dalam kasus korupsi tata niaga timah di Bangka Belitung ini. Sebelumnya, kasus ini juga melibatkan sejumlah petinggi TINS yaitu Direktur Utama periode 2016-2021 Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Direktur Keuangan Tins 2018, Emil Ermindra dan Direktur Operasional Alwin Albar.
Pejabat daerah juga turut terlibat dalam kasus ini yaitu BN selaku Plt Kepala Dinas ESDM Bangka Belitung periode 2019 dan AS selaku Plt Kepala Dinas ESDM Bangka Belitung. Bahkan, kasus korupsi ini menyeret suami dari aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis.
Kasus korupsi timah sendiri berfokus pada kerja sama pengelolaan antara PT Timah Tbk dengan sejumlah perusahaan swasta secara ilegal. Timah yang ditambang dan diolah oleh sejumlah perusahaan itu kemudian dijual kembali kepada PT Timah yang menimbulkan kerugian negara.
Dalam catatan Kejagung, PT Timah telah mengeluarkan dana sebesar Rp1,72 triliun untuk membeli bijih timah. Untuk proses peleburan, PT Timah Tbk telah menggelontorkan biaya sebesar Rp975,5 juta dari 2019 hingga 2022.
Di sisi lain, Kejagung juga telah bekerja sama dengan ahli lingkungan dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menghitung kerugian negara secara riil. Hasilnya, dalam kasus ini negara rugi hingga Rp300 triliun.