Jakarta – TAMBANG. Pemerintah khusus Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutana terus mendorong pemanfaatan bahan bakar ekonomis. Salah satu tujuannya adalah menekan pencemaran udara khusus berasal dari kendaraan bermotor. Sayanya sampai sekarang regulasi yang mengatur hal ini belum ada. Sesungguhnya rancangan awal bahan bakar ekonomi ini sudah ada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sejak Desember 2013. Namun menurut Ahmad Syafrudin, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) hingga saat ini pengesahan rencana kebijakan tersebut belum terealisasi karena draft-nya belum dibahas lebih lanjut.
Dasrul Chaniago, Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan pihaknya sudah bekerjasama dengan kementerian terkait, swasta dan sipil untuk peningkatan kualitas hidup. Dalam 3 tahun terakhir, kementerian terkait mengawal isu kendaraan rendah emisi dengan harapan ke depan bisa menggunakan kendaraan yang tepat.
“Kendaraan roda 2 sudah menggunakan Euro 3 dan kendaraan roda 4 sudah mulai merumuskan untuk menggunakan Euro 4,” ujar Dasrul setelah acara Low Carbon Emission Vehichle di Sarinah, Senin (24/8). Sebagai dorongan, Pemerintah pun memberikan pembebasan bea masuk untuk jenis kendaraan mewah yang rendah emisi.
Rahmat Witoelar, Utusan Khusus Presiden Bidang Pengendalian dan Perubahan Iklim juga menyambut baik apa yang akan dilakukan setelah diskusi tersebut. Setelah 2020, kata Rahmat yang menjadi masalah adalah emisi dari transportasi. “Manusia harus membangun, untuk membangun perlu energi. Low carbon growth itu berusaha mengurangi emisi untuk keberlanjutan,” paparnya.
Ahmad menegaskan KPBB mendesak Kementrian KLH dan Kehutanan segera mengesahkan draft tersebut. Ahmad menjelaskan bahwa saat ini hingga 5 tahun mendatang, Indonesia sudah ketinggalan dari negara lain misalnya Thailand yang sudah menerapkan standar bahan bakar ekonomis dan hijau. “Thailand sudah menerapkan Euro 4 sejak tahun 2012,” ujarnya.
Mengenai industri otomotif yang mengaku tidak siap menghadapi standar Euro 4, hal ini yang menjadi ganjalan. Ahmad berpendapat pelaku industri otomotif melakukan lobi ke pemerintah mengenai ketidaksiapan mereka menerapkan standar bahan bakar ekonomis dan ramah lingkungan, sehingga mengesankan pelaku industri otomotif tidak siap menerapkan kebijakan ini. “Mereka masih berbekal tekonologi usang, murah, dan produknya gampang dijual,” tegasnya.
Padahal dampak dari polusi udara sangat menyeramkan. Polusi bisa menyebabkan kanker, sakit pernapasan, serangan jantung dan lainnya. Dr Chris Malins dari International Council on Clean Transportation (ICTT) menuturkan, diperkirakan 4500 orang per tahun menderita penyakit akibat polusi udara ini. “Kualitas bahan bakar adalah modal untuk polusi udara,” tukasnya.
Menurutnya memang tugas pemerintah untuk menjadikan prioritas masalah adapsi ke euro 4. Mengingat saat ini konsumsi kendaraan di dunia terlihat semakin efisien.
Pelaku industri otomotif, kata Ahmad, bisa saja mempersiapkannya standar bahan bahan bakar yang lebih mutakhir. Kalaupun terkendala pembiayaan, pengusaha otomotif bisa bermitra dengan pemerintah, misalnya memperoleh insentif fiskal. Industri otomotif serta sektor minyak dan gas memerlukan pendanaan sebesar Rp 960 triliun untuk masuk ke Standar Euro 4.
Jumlah tersebut untuk membangun kilang guna memenuhi permintaan bahan bakar Standar Euro 4 dan teknologi baru untuk otomotif. Dari jumlah tersebut, separuh pembiayaanya bisa ditanggung oleh industri otomotif. Investasi kilang sebesar 60%-70% berasal dari PT Pertamina. Pemerintah tinggal menambah 30%-40%.
Jadi investasi yang dibutuhkan oleh industri otomotif sebesar Rp 300 triliun untuk membiayai tekonologinya dari jumlah total investasi yang dibutuhkan senilai Rp 960 triliun. Dengan begitu, Pertamina bisa mengalokasikan investasi Sekitar Rp360 triliun dan pemerintah investasinya sekitar Rp240 triliun. “Badan Kebijakan Fiskal sudah setuju dengan skema investasi seperti demikian,” ujar Ahmad.
Jika kebijakan ini diterapkan, industri otomotif akan memproduksi kendaraan sesuai standar yang ditetapkan regulasi. Lebih lanjut, dia mengatakan Pertamina dan industri minyak dan gas akan terikat regulasi tersebut untuk menjadikan kendaraan berstandar Euro 4. “Jadi, kalau masyarakat mau membeli mobil berstandar Euro 4, konsumen harus ke SPBU yang wajib menyedaiakan bahan bakar yang sesuai kebutuhan, yaitu Euro 4,” jelasnya.
Beberapa produk Pertamina secara keseluruhan speknya juga sudah sesuai dengan keputusan Dirjen Migas 3674.k/24/djm/2006. Amrizal Ramli dari Pertamina Trading mengatakan, beberapa produk Pertamina juga sudah sesuai dengan euro 2 dan 3.
Dari 5207 SPBU Pertamina, 4287 SPBU (83%) terdapat Pertamax, 677 SPBU (13%) sudah terdapat Pertamax Plus, 1608 SPBU (31%) sudah ada Pertamax Dex, dan 317 SPBU (6%) sudah terdapat Pertalite.
Ahmad bilang pemerintah berkewajiban menyediakan bahan bakar ekonomi dan ramah lingkungan. Misalkan, bahan bakar standar Euro 4 tersedia di tahun 2016 maka industri otomotif akan memproduksinya. “Sehingga di tahun 2017 atau paling lambat pada 2018 sudah ada di pasar. Kalau bahan bakarnya ditunda dari 2016 jadi 2017, maka industri otomotif baru investasi tahun 2017, jadi industri otomotif perlu kepastian.,” tegasnya. Ahmad menyampaikan industri otomotif memerlukan kepastian untuk meminimalisir risiko.