Jakarta, TAMBANG – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum berencana mengevaluasi aturan penunjukan langsung setelah terjadi kasus suap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau 1. Pasalnya, pihak yang lebih memahami aturan tersebut ialah Kementerian BUMN, bukan ESDM.
Aturan yang dimaksud adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan.
“Perpres (Peraturan Presiden) prakarsanya itu (Menteri) BUMN, bukan ESDM,” Ujar Direktur Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Andi Nursaman Sommeng saat dijumpai di kompleks DPR RI, Kamis (19/7).
Dalam aturan tersebut, anak usaha Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) memperoleh tugas yang ditunjuk secara langsung dari PLN untuk mencari mitra kerja. Kemudian, PT PJB melakukan pemilihan mitra untuk menggarap proyek pembangkit listrik berkapasitas 2 x 300 MW itu.
PT PJB memilih PT Samantaka Batubara sebagai mitra, karena anak usaha Blackgold Natural Resources Limited itu memiliki tambang batu bara yang sesuai dengan kriteria proyek PLTU Riau 1 dengan skema mulut tambang. PT Samantaka tak sendirian menggarap proyek itu, ia berkonsorsium dengan China Huadian.
Dalam proyek ini, PT PJB akan memiliki saham mayoritas sebesar 51 persen, sedangkan 49 persen sisanya dimiliki konsorsium PT Samantaka Batubara dan China Huadian.
“Mereka ada mekanisme yang diatur. Ada SOP (Standar Operasional Prosedur)-nya,” ujar Andi.
Andi menangkis anggapan skema penunjukan langsung ini rawan penyalahgunaan. Menurutnya, kalau mekanisme itu dijalankan dengan tepat, maka pengadaan proyek juga akan berlangsung baik.
Terkait peristiwa kasus suap yang menjerat anggota Komisi VII DPR RI, Eni Maulani Saragih, Andi tak berkomentar banyak.
“Salahnya sendiri investor ketakutan,” seloroh Andi.
Sebelumnya, Eni yang merupakan politikus partai Golkar dicokok melalui operasi tangkap tangan (OTT) di rumah Menteri Sosial, Idrus Marham. Dari operasi tersebut KPK menyita uang sebesar Rp500 juta. Uang itu diduga merupakan pemberian dari pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo.
Uang tersebut diduga diberikan untuk mempermulus proses penandatanganan kerjasama pembangunan PLTU Riau 1, dan ditengarai adalah bagian dari komitmen fee 2,5 persen dari total nilai proyek. Total uang yang diduga diterima Eni sebesar Rp4,8 miliar. Johannes Kotjo kemudian turut ditetapkan tersangka oleh KPK.