Bangka memanfaatkan lahan bekas tambang sebagai obyek wisata “edu ecotourism”. Tidak ada lagi tampak kubangan. Menghijau dengan berbagai satwa sebagai penghuni. Bisa diterapkan di seluruh bekas penambangan.
Jakarta, TAMBANG – Gambaran bahwa bekas tambang itu selalu meninggalkan kubangan besar, tidak tampak lagi di daerah ini. Beberapa tahun lalu, foto-foto bekas tambang timah yang banyak beredar di berbagai media selalu memamerkan kubangan raksasa yang terlantar dan tampak menyedihkan. Tak banyak orang percaya lahan-lahan yang merana itu bisa “hidup kembali”.
Pemandangan yang tersuguh, sungguh menyejukan mata dengan hamparan kehijauan. Beberapa kubangan memang masih tetap dibiarkan tapi ditata dan diperindah, menjadi sangat asri. Ada yang dijadikan kolam ikan. Tapi yang lebih menarik “kubangan” untuk buaya.
Penasaran? Gampanglah. Lokasinya tidak begitu jauh dari Bandara Depati Amir. Hanya butuh sekitar 45 menit untuk mencapainya. Eh, lokasi daerah hijau itu bernama “Kampoeng Reklamasi Air Jangkang.
Kampung itu memang bekas tambang timah milik PT Timah, Tbk. Lokasinya terletak di Jalan Esa Unggul, Riding Panjang, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Luas areal reklamasi ini mencapai 36,6 hektare.
PT Timah Tbk, anggota perusahaan induk MIND ID butuh sekitar empat tahun untuk membangun Kampoeng Reklamasi Air Jangkang menjadi edu ecotourism. Proyek ini berlangsung pada 2018 sampai 2021.
Obyek wisata yang mulai diminati masyarakat ini sehari-hari dikelola oleh anak perusahaan PT Timah yaitu PT Timah Agro Manunggal (TAM).
Saat berkunjung ke sini, pelancong dapat menikmat pemandangan alam hijau dan rumah adat Melayu yang dominan terbuat dari kayu. Bangunan berwarna coklat ini digunakan sebagai balai pertemuan dan tempat menjamu tamu.
Di sekeliling rumah terdapat pohon menjulang tinggi, membuat udara cukup segar, terlebih sebelum siang menjelang. Bila sudah lelah mengelilingi taman, pengunjung bisa istirahat pada gazebo yang dibangun di sekeliling areal.
Daya tarik lain pada obyek wisata ini sejumlah ceruk bekas tambang yang diubah menjadi sebuah telaga, lengkap dengan dermaga mini. Ini adalah sudut yang sangat disukai pengunjung untuk berfoto.
Di sini pengunjung bisa bersantai, menikmati angin segar dan menghilangkan penat dari kebisingan jalanan kota. Kolam-kolam ini telah diolah PT Timah agar kandungan zat asamnya hilang, sehingga bisa dimanfaatkan sebagai tambak ikan.
Program budidaya ikan dan agrikultur ini melibatkan masyarakat sekitar, sehingga roda perekonomian berputar dan membawa kesejahteraan bagi mereka.
Pemandangan mempesona lainya dan menjadi salah satu spot paling disukai pengunjung adalah taman bunga matahari. Tumbuhan dengan bunga warna kuning bak matahari ini cukup luas. Taman bunga matahari ini pernah menjadi trending di media sosial dan disebut-sebut sangat cocok untuk Instagram.
Manajer Pengelola TAM, Anugrah bercerita, dulu area ini sangat minim unsur hara sehingga tidak ada tanaman yang bisa tumbuh. Karena itu, PT Timah berusaha menyuburkan kembali lahan tersebut.
PT Timah membuat karya terintegrasi. Di sini ada peternakan, ada tumbuhan, bunga, bioflok, dan ada hidroponik. Tanah dan air digunakan eks tambang semua. Ada agronomi juga.
Anugrah merinci jenis-jenis tanaman yang dibudidayakan. Yaitu, sayuran, aneka bunga, pepaya, cemara, pohon endemik, durian, ketapang dan lain-lain.
Pengunjung datang bukan sekadar untuk bersantai, tapi ada juga untuk belajar. Sejumlah pelajar sering datang guna mempelajari teknik budidaya tanaman dan cara mereklamasi lahan bekas tambang. “Mereka juga belajar soal bagaimana budidaya bioflok, hidroponik, dan cara reklamasi,” kata Anugrah.
Di lokasi ini juga dibuat program peternakan yang dikelola secara terpadu. Kotoran hewan tidak dibuang, tapi dijadikan pupuk kompos untuk kebutuhan tanaman. Proses ini dikenal dengan intilah “integrated farming system” atau sistem pertanian terpadu.
Menurut Anugrah, cukup bantyak ternak yang dibudidayan di Kampoeng Air Jangkang. Misalnya, sapi, ayam, kambing, dan bebek. Kotoran ternak ini dikumpulkan dan dimanfatkan sebagai pupuk kompos. Mereka juga membuat pupuk cair dari kororan sapi.
Penangkaran dan perawatan Satwa
Menurut Anugrah, Kampoeng Reklamasi Air Jangkang juga dijadikan sebagai tempat penangkaran dan rehabilitasi hewan liar atau lazim disebut Pusat Penyelamatan Satwa (PPS). Di Indonesia, lanjut Anugrah, hanya ada empat pusat penyelamatan, dan satu-satunya yang tidak dibiayai pemerintah adalah PPS Alobi yang dikelola dan didanai sendiri oleh PT Timah.
Luasnya sekitar 4 hektare. Berbagai jenis hewan dirawat di sini, seperti burung, primata, unggas, dan mamalia. “Di sana juga ada beruang, burung merak, buaya, dan rusa,” kata Anugrah.
Hewan-hewan ini berasal dari sitaan, pasar gelap, hingga tangkapan karena kerap mengganggu keselamatan warga. Setelah direhabilitasi dan dirawat, pihak Alobi akan melepasliarkan binatang tersebut sesuai habitatnya. “Sebagian besar hewan dari masyarakat sekitar sini, tapi ada juga dari luar. Beruang itu dari Sumatera,” kata Anugrah.
Manager PPS Alobi, Endi Yusuf menjelaskan, pelepasliaran hewan-hewan itu, harus sesuai ketentuan yang berlaku. Sambil menunjuk ke arah penangkaran buaya, Endi menjelaskan, Alobi berkomitmen mengedukasi masyarakat dalam menyikapi bila menemukan hewan liar. “Tidak boleh disiksa, apalagi dibunuh,”tegasnya.
Masyarakat tidak banyak yang tahu kalau buaya ini termasuk hewan yang dlindungi. Agar tidak menjadi korban, buaya tersebut diselamatkan di Alobi. “Sudah ada program yang kami siapkan, sebelum dilepas ke habitatnya,” kata Endi.
Buaya dan sejumlah satwa liar dilindungi negara melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa.
Buaya yang kini dalam pengawasan Endi berjumlah 33 ekor. Hewan reptil ini. ada yang berasal dari lahan bekas tambang yang digenangi air. Ada yang diberi nama Jony. Kata Endi, Jony dan kawan-kawan, tiap hari menghabiskan beberapa ekor ayam, daging kambing, dan sapi.
Endi, yang tiap hari mengenakan pakaian dinas lapangan ini, menyampaikan, dalam pelepasliaran buaya, pihak Alobi masih terkendala beberapa hal. Misalnya, habitat buaya sudah rusak karena ulah penambang ilegal.
Menurut Endi, para penggangsir acap kali menyasar hutan bakau sebagai wilayah operasinya. Padahal, lokasi sejenis itu merupakan tempat tinggal buaya. “Tak mungkin kita bisa lepas buaya di tempat yang tidak memenuhi syarat. Kalaupun dipaksakan, percuma karena bakal kembali lagi ke areal masyarakat. Mereka bersentuhan kembali dengan masyarakat sangat memungkinkan,” kata Endi.
Alobi merupakan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan, khususnya konservasi fauna di Kepulauan Bangka Belitung. Alobi berkomitmen melestarikan alam, khususnya pada penyelamatan dan rehabilitasi satwa liar.
Sejak 2014, Alobi Foundation bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan, menginisiasi berdirinya sebuah Lembaga Konservasi Khusus Pusat Penyelamatan Satwa (LK-PPS) berlokasi di Kampoeng Reklamasi Air Jangkang, Kabupaten Bangka. “Kami ini PPS satu-satunya di Sumatera. Karena pemerintah tidak punya tempat seperti ini, mereka titipkan hewan-hewan sitaan pada kami untuk dirawat,” kata Endi.
Satwa liar yang diselamatkan dirawat secara fisik, rehabilitasinya didampingi dokter hewan. Rehabilitasi dilakukan agar insting alami hewan pulih. Setelah hewan-hewan itu dinyatakan “sembuh”, akan diobservasi dan dievaluasi sebelum dilepaskan kembali ke habitat alaminya.
Pengembalian satwa ke alam liar merupakan aspek yang paling penting dalam menjaga kelestarian dan keseimbangan ekosistem.