Jakarta-TAMBANG. Polemik yang terjadi antara Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia tengah menjadi perhatian publik. Ada yang mendorong Pemerintah untuk bersikap tegas sebagai perwujudan kedaulatan negara atas sumber daya alam nasional. Namun ada juga yang dengan melihat dampak negatif yang bakal ditimbulkan berharap agar ada solusi yang menguntungkan kedua belak pihak.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Wilayah Indonesia Timur dalam siaran persnya berharap pemerintah mengelola isu PT Freeport dengan baik. Jangan sampai memanasnya hubungan PT Freeport Indonesia dengan pemerintah malah akan kontra produktif dan tidak terukur.
“Isu PT Freeport ini harus dikelola dengan baik, terukur dengan target yang jelas,” ujar Wakil Ketua Umum Kadin Kawasan Timur Indonesia H.Andi Rukman Karumpa dalam siaran pers yang diterima Majalah TAMBANG.
Menurut Andi gejolak antara negara dan korporasi besar seperti Freeport lumrah terjadi dimana-mana. Misalnya dulu ada Aramco dengan pemerintah Saudi Arabia. Kemudian, Aramco jatuh ke pangkuan pemerintah Saudi. “Sengketa kontrak dengan MNC (Multi Nasional Company) ini hal biasa. Tapi harus ada target yang terukur. Gejolak itu di-manage sehingga bisa lebih produktif dalam jangka panjang atau jangka pendek,” tandas Andi.
Andi mengatakan, pihaknya mendukung ketegasan pemerintah kepada PT Freeport. Sebab selama ini, Freeport mengulur-ulur waktu membangun smelter di dalam negeri. Freeport juga terkesan berusaha selalu mendikte pemerintah. “Dia ketemu Menteri Jonan yang keras kepala dan tidak mau didikte,” pungkas Andi.
Meski demikian Ia meminta Pemerintah untuk mengelola konflik ini dengan baik karena terkait dengan puluhan ribu pekerja tambang. Tak hanya itu, jika ini terus berlangsung perekonomian di Papua akan ikut terguncang. Sebab, lebih dari 90% produk domestik bruto regional (PDRB) Kabupaten Mimika, sekitar 37% PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Provinsi Papua berasal dari Freeport.
”Saya kira dampak-dampak ekonominya dan politik lokal juga harus dipertimbangkan. Makanya kita harap dikelola dengan baik, “ ujarnya.
Sebagaimana diketahui PT Freeport Indonesia telah menolak persetujuan IUPK dan rekomendasi izin ekspor dari Pemerintah. Padahal persetujuan tersebut diberikan atas permintaan PT Freeport Indonesia. Kemudian perusahaan asal Amerika ini pun telah mengirim Surat kepada Pemerintah terkait beberapa point yang berpotensi melanggar Kontrak Karya.
Dan sesuai dengan yang ada di Kontrak Karya, Pemerintah dan PT Freeport Indonesia akan berdiskusi tentang hal-hal tersebut selama 120 hari terhitung sejak surat tersebut dikirim. Konon surat tersebut disampaikan pada tanggal 17 Februari 2017.
Jika dalam waktu yang disediakan tersebut tidak ada kesepakatan yang terjadi maka dimungkinkan untuk dilanjutkan ke pengadilan Arbitrase.
Namun yang lebih penting lagi karena saat ini PT Freeport Indonesia belum bisa mengekspor konsentrat maka perusahaan telah menghentikan kegiatan produksi sejak 1o Februari 2017. Hal ini dilakukan karena stockpile konsentrat telah penuh.
Ke depan pun perusahaan akan memangkas kapasitas produksi karena hanya bisa memasok ke PT Smelting Gresik. Dampak yang ditimbulkan akan sangat besar karena akan terjadi pengurangan tenaga kerja, nilai investasi pun bakal turun serta banyak kegiatan yang selama ini dikerjakan oleh kontraktor pertambangan bakal berkurang.
Namun Pemerintah juga harus menunjukkan ketegasannya. Sesuai amanat UU No. 4 tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara, ke depan sudah tidak ada lagi Koktrak Karya dan semua harus berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan. Meski UU masing mengakui Kontrak Karya sampai masa kontrak berakhir.
Dalam PP 1 tahun 2017 yang merupakan revisi keempat atas PP No 23 tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan batu bara ditegaskan perusahaan pemegang kontrak karya jika ingin mengekspor produk pengolahan harus beralih menjadi IUPK.
Dan pada 10 Februari 2017 lalu, pemerintah telah menyodorkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara sebagai pengganti Kontrak Karya (KK). Jika tak mau menerima IUPK, Freeport tak bisa mengekspor konsentrat tembaga. Namun ternyata ditolak ihak Freeport dengan alas an IUPK tidak memberikan kepastian, pajaknya bisa berubah mengikuti aturan perpajakan yang berlaku (prevailing), tak seperti KK yang pajaknya tak akan berubah hingga masa kontrak berakhir (naildown).
Namun Pemerintah menjalankan amanat UU Minerba dan juga demi memperkuat penguasan negara terhadap kekayaan alam.