Jakarta-TAMBANG. Keberadaan perusahaan tambang asal Amerika Serikat, PT Freeport Indonesia pasca kontrak mereka habis pada 2021 cukup menarik perhatian publik. Dalam dua pekan terakhir, kritik bermunculan ke arah Kementerian ESDM dan Presiden pasca munculnya kabar bahwa pemerintah telah menyepakati perpanjangan kontrak Freeport Indonesia hingga dua puluh tahun ke depan.
Tak mau masalah ini berlarut, Kepala Staf Presiden, Teten Masduki akhirnya angkat bicara. Teten menegaskan bahwa sampai saat ini pemerintah Indonesia sama sekali belum menyepakati perpanjangan kontrak Freeport pasca 2021. Dalam pertemuan Presiden dengan pihak Freeport beberapa waktu lalu, hal yang dibicarakan hanya menyangkut lima hal, yaitu soal royalti, divestasi, peningkatan kandungan lokal, hilirisasi industri/smelter, dan pembangunan Papua.
“Presiden dan Pemerintah RI harus mematuhi Peraturan dan Perundang-undangan yang berlaku saat ini yang membatasi bahwa pengajuan perpanjangan kontrak hanya bisa dilakukan dua tahun sebelum masa kontrak berakhir,” tulis Teten dalam keterangan persnya, Kamis (22/10).
Menurut Teten, pemerintah memang menerima masukan dari semua perusahaan tambang yang meminta agar negosiasi perpanjangan kontrak bisa dilakukan jauh-jauh hari sebelum masa kontrak berakhir. Alasannya perusahaan tidak berani mengucurkan dana investasi baru sebelum memiliki kepastian bahwa kontraknya akan diperpanjang.
Ia menyebut pemerintah bisa memahami persoalan ini dan sebagai konsekuensinya, pemerintah juga dihadapkan adanya potensi penurunan produksi hasil pertambangan, yang pada akhirnya berimbas pada penurunan royalti sebagai penerimaan negara.
“Namun di sisi lain pemerintah tetap terikat dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini,” tambahnya. Semangat presiden dalam negoisasi perpanjangan kontrak-kontrak pertambangan, kata Teten, pada dasarnya menginginkan adanya manfaat yang lebih besar untuk kepentingan negara dan seluruh rakyat Indonesia.
Pernyataan Istana tersebut turut menggugurkan pernyataan yang dikeluarkan Kementerian ESDM pada dua pekan sebelumnya yang mengatakan pemerintah dan Freeport telah bersepakat soal perpanjangan kontrak. Dalam perbincangan dengan Majalah TAMBANG, Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan saat ini pemerintah berupaya membantu Freeport untuk terus bisa beroperasi di Indonesia.
Alasannya Freeport sudah kadung menjadi sumber pendapatan dan pembangunan bagi masyarakat Papua. PDB Papua saat ini 75% berasal dari operasi pertambangan Freeport Indonesia. Apabila Freeport berhenti beroperasi, akan ada 35.000 pekerja baik secara langsung dan tak langsung yang terancam kehilangan pekerjaan. Pengambilan alihan Freeport oleh BUMN menurutnya tak semudah saat Pertamina mengambil alih blok Mahakam atau saat pemerintah membeli 100% saham Inalum.
“Untuk itu kami berusaha untuk merevisi peraturan yang mengharuskan perpanjangan minimal sebelum dua tahun masa kontrak habis. Disamping itu menyiapkan pola yang lebih memberi keuntungan bagi kepentingan nasional,” ujar Sudirman.