Jakarta, TAMBANG. INVESTASI tambang di Indonesia dinilai masih menguntungkan. Tetapi situasinya penuh dengan tantangan dan kesulitan. Peraturan yang serba tak terduga hanya menjadi salah satu masalah. Lainnya: politik personal dan kepentingan perseorangan juga merepotkan.
Hal-hal negatif itu menjadi salah satu penilaian yang dikeluarkan Amy Gibbs, konsultan senior di bidang kredit, politik, dan keamanan risiko pada lembaga konsultan dari London, Inggris, Jardine Lloyd Thompson, dan dimuat di World Coal, hari ini.
Optimisme sektor tambang menyambut naiknya Presiden Joko Widodo ternyata harus menghadapi masalah yang muncul akibat sistem politik Indonesia yang terbagi ke dalam beberapa kelompok. Tanpa dukungan mayoritas anggota parlemen, ditambah Jokowi belum berpengalaman di politik pusat, membuat Presiden menghadapi tantangan berat untuk memerintah secara efektif.
Jokowi, bekas walikoto Solo yang kemudian menjadi gubernur Jakarta, dilihat sebagai ‘’orang kita’’. Ia bertindak demi rakyat. Misalnya, bagaimana caranya dia menentukan kabinet, yang banyak diisi kaum teknokrat.
Tetapi di Indonesia, yang sistem politiknya masih banyak yang berdasar kekeluargaan, tindakan Jokowi menimbulkan masalah besar bagi mereka yang sudah menikmati kemapanan. Jokowi juga dinilai kurang memiliki ikatan yang kokoh dengan para penentu keputusan, serta kelompok swasta yang berpengaruh.
Di bidang pertambangan, Jokowi dinilai sangat mungkin membuat reformasi, didorong oleh sentimen nasionalis yang kuat di pemerintahannya. Ia ingin mendorong para pemain tambang batu bara berlaga di arena yang sama. Tetapi rencananya untuk mengubah iklam tambang hanya akan sedikit menarik investor.
Sebagai contoh, kini penambang harus mendapatkan izin dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Perdagangan, sebelum boleh mengekspor batu baranya. Ini menambah ongkos dan waktu.
Tunduk pada kepentingan perusahaan pertambangan asing selama beberapa bulan pertamanya di kantor akan dilihat sebagai penghinaan terhadap para pendukungnya. Ini akan memakan biaya politik yang terlalu tinggi Joko Widodo di awal kepresidenannya.
Dengan demikian, investor tambang asing kemungkinan akan melihat kelanjutan dari siklus iklim pertambangan yang berubah-ubah, yang menjadi ciri investasi Indonesia sejak tahun 1999.
Konsisten dengan komitmen kampanyenya untuk memperkuat ketahanan energi Indonesia, Joko Widodo diharapkan mendukung batasan produksi batu bara, yang dirancang untuk meningkatkan harga dalam jangka pendek, dan menghemat umur sumber daya alam dalam jangka panjang. Namun itu tak mudah. Perusahaan batu bara dalam negeri memiliki pengaruh kuat, dan banyak dimiliki oleh keluarga yang berpengaruh secara politik.
Perusahaan seperti ini cenderung menggunakan pengaruh politik mereka untuk mendorong pemerintah mengizinkan kenaikan produksi, dan membagikan kenaikannya kepada mereka. Beberapa perusahaan yang mungkin memperoleh manfaat adalah Adaro Coal, Bumi Resources, Bayan Resources, dan Indika Energy.
Tak mudah bagi perusahaan tambang menaikkan produksinya. Di sisi lain, pemerintah dan parlemen mengakui peran perusahaan tambang dalam meningkatkan penerimaan negara. Presiden Jokowi pun harus bergerak dengan langkah yang penuh kehati-hatian.
Foto: Presiden Jokowi dan investor asing.
Sumber foto: palingaktual.com