Beranda Tambang Today Investasi Butuh Kepastian

Investasi Butuh Kepastian

Jakarta, TAMBANG – Kontribusi sektor pertambangan terkait erat dengan investasi. Sayang data menyebutkan investasi di sektor pertambangan mineral dan batu bara (Minerba) dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan trend penurunan. Bahkan diperkirakan apa yang ditargetkan Pemerintah tahun ini tidak tercapai.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)  tahun 2018 ini menetapkan target investasi sebesar USD37,2 miliar. Sektor minyak dan gas bumi (Migas) masih yang paling besar diangka USD16,8 miliar. Kemudian sektor ketenagalistrikan yang ditargetkan sebesar USD12,2 miliar. Sementara sektor Minerba ditargetkan sebesar USD 6,2 miliar.Menyusul sektor Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) ditargetkan sebesar USD 2 miliar.

 

Sayangnya sampai kuartal III tahun ini, capaian baik di sektor ESDM keseluruhan maupun di sektor Minerba masih jauh dari target. Dalam sembilan bulan, tahun ini, realisasi investasi Kementrian ESDM baru mencapai USD15,2 miliar. Dengan capaian ini agak sulit untuk menembus angka yang ditetapkan diawal tahun.

 

Sementara jika dilihat dalam beberapa tahun terakhir nilai investasi sektor ESDM pun cenderung turun. Di tahun 2015 realisasinya investasi sebesar USD 32,3 miliar. Di tahun 2016 turun menjadi USD 29,7 miliar. Tahun 2017 kembali turun menjadi USD 27,5 miliar.

 

Kondisi yang tidak jauh berbeda terjadi di sektor Minerba. Sampai kuartal III tahun ini realisasi investasi  baru USD1,6 miliar. Masih jauh dari target yang dicanangkan Pemerintah sebesar USD6,2 miliar.

 

Salah satu kendala investasi di sektor tambang selama ini adalah ketidakpastian hukum. Pemerintah terlalu sering mengubah kebijakan. Contoh konkritnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 tahun 2010 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam kurun waktu delapan tahun pasca dikeluarkan beleid turunan dari UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ini telah terjadi perubahan lima kali.

 

Meski diawal tahun ini, Pemerintah melakukan upaya penyederhaan regulasi. Ratusan regulasi dicabut. Namun ternyata, itu tidak cukup memberi kepastian usaha. Masih ada beberapa kebijakan Pemerintah yang menimbulkan tanda tanya.

 

Seperti ketika Pemerintah menetapkan batasan harga batu bara domestik untuk ketenagalistrikan. Pemerintah mematok harga USD70 per ton. Sementara ketika itu harga batu bara sempat menyentuh USD107,83 per ton (HBA) di bulan Agustus. Tidak hanya itu, perusahaan wajib memenuhi kewajiban memasok 25 persen dari kapasitas produksi ke pasar domestik terutama listrik.

 

Kewajiban ini menjadi tantangan tersendiri bagi produsen batu bara kalori rendah dan kalori tinggi yang produknya tidak terserap pasar domestik. Ditambah lagi,  pelaku usaha dicemaskan oleh ancaman sanksi pemangkasan produksi di tahun berjalan dan ditahun berikut. Sampai sekarang di saat perusahaan sedang menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) untuk 2019, hal ini belum jelas. Apakah sanksi tersebut masih berlaku atau tidak.

 

Di sisi lain kuota DMO yang ditetapkan di awal tahun diperkirakan tidak semuanya terserap. Diperkirakan DMO yang terserap tahun ini dibawah 100 juta ton. Artinya ada kelebihan pasokan jika semua perusahaan diwajibkan memasok 25 persen dari kapasitas produksinya ke pasar domestik.

 

Belum lagi mekanisme transfer kuota pun sampai sekarang tidak berjalan. Meski Pemerintah dengan yakin mengatakan bahwa perusahaan tambang batu bara telah sepakat dengan mekanisme transfer kuota dalam pertemuan di Bali. Namun sejauh ini belum ada yang berjalan.

 

Di saat yang sama, harga batu bara dalam tiga bulan terakhir mulai turun. HBA dibulan November sudah berada diangka USD97,9 per ton. Harga batu bara untuk listrik pun sudah dibawah harga patokan Pemerintah. Jika demikian bagaimana melakukan transfer kuota.

 

Kemudian juga, ada kebijakan dari Kementrian Perdagangan yang mewajibkan perusahaan tambang menggunakan kapal berbendera nasional. Meski kemudian sepakat untuk ditunda, namun wacana ini sempat membuat cemas pelaku usaha.

 

Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan yang mewajikan perusahaan tambang menggunakan B20. Penerapannya serentak dilakukan pada 1 September 2018. Sejauh ini dari penelusuran Majalah TAMBANG, kebijakan ini masih menimbulkan pro dan kontra. Selain itu sosialisasi dirasa masih kurang terutama kepada pengguna tentang bagaimana menangani B20 termasuk penyimpanannya. Belum lagi berbicara dari sisi dampak bagi kinerja mesin.

 

Lalu ada kebijakan untuk convert posisi keuangan dari USD menjadi Rupiah (terkait kebijakan wajib L/C atau Devisi Hasil Ekspor di bank domestik). Meski ada selentingan bahwa kebijakan ini kemungkinan tidak akan berlaku, tetapi sudah menimbulkan kepanikan. Kemudian nasib revisi UU Minerba yang sampai sekarang tidak jelas nasibnya.

 

Budi Santoso, Direktur Eksekutif Centre for Indonesian Resources Strategic Studies  (Cirus) punya beberapa alasan terkait turunnya investasi. Menurutnya realisasi investasi yang jauh dari target bisa disebabkan karena regulasi Pemerintah yang tidak menarik. Namun juga ada penyebab lain.

 

Pertama, konsep satu tambang satu smelter menyebabkan perusahaan kurang berminat mengembangkan tambangnya.

 

“Karena membangun smelter bukan investasi murah. Ketika investor pertambangan tidak tahu harus menjual produknya maka mereka lebih memilih mendiamkan,”ungkap Budi.

 

Meski kemudian ada kebijakan membuka kesempatan untuk ekspor bagi pemilik IUP yang serius bangun smelter. Tetapi persyaratan yang diminta masih banyak yang tidak bisa dipenuhi.

 

Kedua, insentif untuk perusahaan yang melakukan eksplorasi kurang menarik. Bahkan cenderung kontra produktif dengan kebijakan lelang dan ijin IPPKH. “Padahal tidak akan ada tambang baru kalau tidak ada eksplorasi,”tandas Budi.

 

Ketiga , adalah hambatan-hambatan non teknis seperti  tumpang tindih lahan dengan sektor lain yang prosesnya bisa memakan waktu, juga masyarakat yang tidak kooperatif.

 

Sementara pakar hukum pertambangan Eva A. Djauhari dari Armila & Rako dalam siaran pers menyebut, salah satu penghambat investasi saat ini adalah ketidakpastian. Ia menyebut perpanjangan kontrak dan perubahan dari sistem Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) atau Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Khusus menjadi alasan minimnya investasi di sektor pertambangan.

 

“Banyak ketidakpastian, membuat pelaku usaha ragu-ragu. Kami mengharapkan ada perbaikan kebijakan, kepastian hukum, dan efisiensi. Mengingat industri ini sangat capital intensive, maka mesti ada jaminan bahwa bisnis bisa berjalan dalam jangka waktu ke depan,” tandas Eva.

 

Ini tentu menjadi tantangan bagi Pemerintah untuk mendorong realisasi investasi. Penyederhaan regulasi yang dilakukan pada awal tahun, belum banyak pengaruh positif pada kinerja investasi.

 

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai, harga komoditas yang membaik seharusya bisa menjadi insentif untuk meningkatkan investasi. Namun kepastian investasi tetap menjadi kunci agar realisasi bisa optimal. Ia menilai deregulasi yang dilakukan Kementrian ESDM belum cukup karena tidak diikuti dengan sinkronisasi, baik antar kementerian atau lembaga terkait, juga dengan pemerintah daerah.

 

Hal lain menurut Komaidi, pelaku usaha sektor tambang menunggu akhir dari divestasi saham PT Freeport Indonesia. “Sedikit banyak proses divestasi Freeport Indonesia menjadi pertimbangan industri tambang untuk lebih berhati-hati dalam melaksanakan investasi. Mereka sangat berkepentingan untuk memastikan investasi mereka memperoleh pengembalian yang layak,”kata Komaidi.

 

Akhirnya menarik disimak catatan PricewaterhouseCoopers (PwC) Indonesia dalam riset tentang pertambangan Indonesia tahun 2018. Di sana dikatakan iklim investasi di sekitar penambangan Indonesia akan terus menantang dalam jangka pendek. Banyak investor menurut riset tersebut melihat Indonesia memiliki potensi geologis yang signifikan, dalam hal sumber daya batu bara dan mineralnya. Akan tetapi ketidakpastian peraturan  termasuk soal royalti dan rezim fiskal telah menjadi penghalang utama bagi investasi.

 

Oleh karena itu dibutuhkan upaya nyata perbaikan iklim investasi untuk dunia pertambangan Indonesia agar investor jadikan Indonesia sebagai pilihan investasinya. ***