Jakarta-TAMBANG. Hari ini Pemerintah akan mengumumkan revisi harga BBM. Ini juga merupakan pelaksanaan kesepakatan Pemerintah dengan DPR bahwa review harga BBM akan dilaksanakan dalam tiga bulan sekali. Dengan melihat trend harga minyak dunia dalam beberapa bulan terakhir ada kemungkinan harga BBM bakal turun.
Menjadi pertanyaan seberapa besar harga BBM ini bakal turun itu yang ditunggu. Pihak PT Pertamina (Persero) meminta Pemerintah agar penurunan harga BBM tidak terlalu besar mengingat dalam beberapa pekan terakhir harga minyak dunia bergerak menguat. Meski saat ini bertahan di level US$40 per barel.
“Masukan kami, periode tiga bulanan, berarti 1 Juli nanti evaluasi, Juli itu libur sekolah dan puasa, sekarang ini sudah mulai naik lah harga minyak dunia, kalau (harga minyak dunia) naik, apa pemerintah siap ketika 1 Juli harus melakukan perubahan harga BBM dan itu arahnya naik padahal ada puasa dan mendekati lebaran,” tandas Direktur Pemasaran PT Pertamina (Persero) Ahmad Bambang dalam diskusi publik bertajuk Stabilisasi Harga BBM untuk Pertumbuhan Ekonomi yang digelar E2S bekerja sama dengan Siar Institute di Jakarta, Selasa 29 Maret 2016.
Pertimbangan lain jika penurunan terlalu tajam ketika harga minyak dunia menguat dalam tiga bulan ke depan, Pemerintah sulit untuk menaikan harga BBM. Mengingat periode tiga bulan mendatang tepat di bulan Juli akan ada bulan puasa menjelang Lebaran dan juga liburan anak sekolah. Sangat riskan jika Pemerintah dalam situasi seperti itu mengambil keputusan menaikan harga minyak.
Di sisi lain penurunan harga BBM yang terlalu kecil juga tidak banyak memberi dampak pada penurunan harga bahan pokok dan tarif angkutan. Meski diakui kadang ketika naik Rp.200 per liter, harga bahan pokok dan juga tarif angkutan tetap naik. Di sini menurut banyak kalangan Pemerintah harus hadir di sana.
Pentingnya Stabilisasi Harga BBM
Harus diakui bahwa harga BBM masih menjadi masalah terbesar di negara ini. Hal ini dimaklumi karena BBM masih menjadi sumber energi yang utama. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro dalam seminar bertema Stabilisasi Harga BBM Untuk Pertumbuhan Ekonomi, menjelaskan bahwa konsumsi BBM Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir tercatat mengalami peningkatan berkisar 6-7% per tahun. Konsumsi BBM tersebut diantaranya terdistribusi untuk sektor transportasi, sektor industri, rumah tangga, dan sektor kelistrikan.
Menurutnya sejauh ini sektor transportasi masih yang terbesar kemudian ada sektor listrik dan juga industri. Sektor rumah tangga menunjukkan penurunan signifikan seiring berjalannya program konversi penggunaan minyak tanah ke elpiji.
Dengan profil yang demikian sementara Indonesia sudah menjadi pengimpor minyak rasanya sulit untuk bisa menjaga stabilitas harga BBM. Data menunjukkan bahwa saat ini konsumsi bahan bakar berbasis minyak (BBM) Indonesia telah ada di kisaran 1,4 juta–1,6 juta barel per hari. Sementara kemampuan produksi minyak Indonesia antara 750 ribu–800 ribu barel per hari.
Dari hasil produksi itupun, Indonesia hanya memperoleh bagian sekitar 60% atau 450 ribu-480 ribu barel per hari. Ini karena 40% dari hasil produksi merupakan bagian kontraktor dan cost recovery. Dengan demikian sektiar 900 ribu–1,15 juta barel kebutuhan minyak Indonesia harus diimpor setiap hari.
Menurut Komaidi jika harga minyak nantinya kembali normal dan diasumsikan rata-rata sebesar US$80 per barel, Indonesia sudha harus menyediakan devisa antara US$26,28 miliar-US$33,58 miliar per tahun anggaran untuk mengimpor minyak dan/atau BBM. jumlah yang fantastis.
Oleh karenanya lanjut Komaidi yang dibutuhkan saat ini adalah terobosan kebijakan yang dilakukan Pemerintah. Dan perlu diingat stabilitas harga BBM kemungkinan hanya akan dapat dilakukan jika harga minyak stabil dan berada pada level yang rendah. Akan tetapi jika harga minyak bergerak naik, stabilitas harga BBM relatif sulit dilakukan karena membutuhkan biaya yang besar.
“Pada kondisi sebagian besar kebutuhan minyak (BBM) bergantung pada impor, sulit bagi pihak manapun untuk dapat mengendalikan harga BBM. Termasuk bagi pemerintah Indonesia yang dalam konstelasi pasar minyak dunia juga relatif sudah tidak memiliki kekuatan lagi,”kata Komaidi.
Komaidi menilai sampai sekarang Indonesia relatif belum punya rencana jangka panjang dalam pemenuhan kebutuhan BBM. Hal yang dilakukan Pemerintah saat ini lebih berorientasi jangka pendek salah satunya dengan kebijakan harga BBM dengan melihat pergerakan harga minyak dunia.
Ke depan Indonesia agar punya kemampuan menjaga stabilitas harga BBM maka yang paling penting memiliki cadangan minyak strategis atau yang lebih populer disebut strategic petroleum reserve (SPR). Indonesia yang tersedia masih sebatas cadangan operasional BBM untuk 20-23 hari. Itu pun tidak disiapkan negara tetapi oleh Pertamina. “Artinya cadangan yang dimiliki Indonesia saat ini adalah stok BBM Pertamina yang belum dijual,”terang Komaidi.
Akar dari semua itu adalah keterbatasan infrastruktur salah satunya kapasitas tangki timbun BBM Indonesia baru mencapai 3.646 juta KL atau 22,93 juta barel. Bayangkan saja dengan angka konsumsi sebesar 1,4 juta–1,6 juta barel, kapasitas tangki timbun BBM Indonesia tersebut hanya mampu untuk 14,33 – 16,37 hari.
Persoalan inilah yang harus dijawab Pemerintah saat ini. Salah satunya dengan membangun kilang dan tangki timbun. Namun semua itu butuh waktu. Untuk pembangunan kilang butuh paling kurang lima tahun.
Oleh karenanya Komaidi memberi jalan diantaranya dengan menyewa tangki timbun BBM punya negara lain. Tujuannya untuk menimbun BBM. Di saat harga minyak dunia sedang turun menjadi saat yang tepat untuk membeli sebanyak mungkin dan ditimbun di tangki timbun yang disewa.
Sehingga harga BBM Indonesia tidak lagi bergantung pada harga minyak dunia. Meski harga minyak dunia naik namun karena punya cadangan yang dibeli dengan harga murah maka Pemerintah tidak perlu menaikan harga BBM. dengan itu stabilitas harga BBM bisa terlaksana.
Di tempat yang sama Anggota Komisi VII DPR-RI, Dito Ganinduto mendorong Pemerintah untuk memiliki cadangan BBM mengingat cadangan minyak strategis. “Cadangan harus ada. Kita hanya punya operasional Pertamina 18-22 hari. Kita nol. Itu bahaya bagi kita. Keterbatasan kita, stok di luar negeri tidak masalah,” kata Dito
Menurut Dito Pemerintah bisa saja mendorong negara penyuplai BBM untuk membangun kilang di Indonesia. Mereka membangun infrastrukturnya sedangkan stok untuk Indonesia. “Mereka yang suplai, stok ke kita. Bikin kesepakatan ringankan kita. Kalau mereka bangun infrastruktur, dan stok di sini, kita bayar landed price. Kan ada perencanaan. Kita tidak ada cadangan nasional,” tandasnya.
Ia pun berharap Pemerintah serius dalam merealisasikan rencana peningkatan kapasitas dari kilang minyak yang sudah dan juga membangun kilang baru. “Kami berharap rencana peningkatkan kapasitas kilang minyak bisa berjalan sesuai dengan yang direncanakan dan juga setidaknya membangun tambahan dua kilang baru untuk mencukupi kebutuhan BBM nasional,”katanya.