Jakarta,TAMBANG,- Hanya kurang dari sebulan revisi keempat dari UU No.4 tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara berhasil disahkan dalam Rapat Paripurna. Beberapa stakeholder pertambangan yang terdiri dari praktisi, asosiasi pertambangan dan ahli pertambangan dan akademisi pun mengaku belum sempat menyampaikan beberapa pendapat dan pandangannya. Salah satunya DeHeng ARKO Law Offices (ARKO Law) dan Indonesia Mining Institute (IMI) yang baru beberapa menyelenggarakan Diskusi Strategis tentang revisi UU MInerba.
Dalam diskusi bertajuk “Perubahan UU Minerba: Urgensi atau Ambisi?” disampaikan beberapa pokok yang menjadi catatan terkait dengan revisi atas regulasi terkait kegiatan usaha pertambangan ini. Setidaknya ada enam (6) aspek yang disorot mulai dari hak menguasai negara sebagai prinsip fundamental, dinamika regulasi dan liberalisasi pertambangan, risiko terhadap tata kelola sumber daya alam, pembelajaran
dari praktek pertambangan global, pemberian prioritas pada perguruan tinggi dan UMKM, serta proses dan mekanisme penyusunan RUU Minerba. Keenam aspek ini disampaikan dalam siaran pers yang diterima Tambang.co.id pada Kamis, (20/2).
Disebutkan bahwa Pasal 33 UUD 1945 menegaskan jiwa dan semangat nasionalisme yang diwujudkan melalui prinsip penguasaan negara yang meliputi lima fungsi, yaitu kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan. Perwujudan penguasaan negara tersebut
dalam praktiknya dilakukan dengan cara pengurusan melalui BUMN dan BUMD. Sehingga, pengelolaan langsung oleh negara melalui BUMN dan BUMD dianggap sebagai mekanisme paling optimal untuk memastikan manfaat ekonomi tetap dalam kendali negara.
Peserta diskusi berpendapat bahwa kebijakan pemberian WIUP dan WIUPK secara prioritas kepada entitas di luar BUMN dan BUMD tidak sesuai dan tidak sejalan dengan konsep penguasaan negara sebagaimana dimandatkan dalam Pasal 33 UUD 1945. UU Minerba dan perubahannya yang berlaku selama ini tetap mempertahankan skema penawaran WIUPK secara prioritas kepada BUMN dan BUMD, namun tetap membuka ruang bagi swasta melalui mekanisme lelang.
Sementara itu, dalam RUU Minerba terbaru, terdapat perubahan signifikan dengan diperkenalkannya skema penawaran WIUP dan WIUPK secara prioritas kepada organisasi keagamaan, perguruan tinggi, dan UMKM. IMI dan ARKO Law melihat bahwa kebijakan ini berpotensi mengurangi dominasi negara dalam pengelolaan tambang dan menggesernya ke arah liberalisasi pertambangan, bersifat diskriminatif, melemahkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, serta bertentangan dengan semangat Pasal 33 UUD 1945..
Pendapat ini disarikan dari berbagai pandangan peserta dimana dari perspektif tata kelola sumber daya alam, kebijakan ini dianggap menimbulkan sejumlah risiko. Pemberian izin kepada entitas non-pemerintah berpotensi membuka ruang bagi kepentingan politik
serta menggeser kontrol negara menuju liberalisasi. Selain bertentangan dengan semangat Pasal 33 UUD 1945, usulan ini juga berisiko menurunkan efektivitas pengelolaan tambang, meningkatkan eksploitasi berlebihan, mengakibatkan kerusakan lingkungan, dan
mengurangi penerimaan negara. Pergeseran dari peran negara sebagai pengelola utama menjadi fasilitator izin bagi entitas swasta atau non-komersial berpotensi melemahkan kedaulatan ekonomi atas sumber daya strategis.
IMI dan ARKO Law memandang bahwa regulasi pertambangan nasional telah cukup matang, sehingga pelonggaran standar izin bagi entitas non-komersial justru kontraproduktif dan melemahkan tata kelola dan kredibilitas sektor ini. Seharusnya, pembentukan kebijakan oleh pemerintah berfokus untuk memastikan eksplorasi dan eksploitasi dilakukan oleh entitas berkompeten dengan pengawasan ketat, bukan memperluas akses izin tanpa mitigasi risiko.
Tata kelola pertambangan memiliki kekhasan tersendiri. Berkaca pada praktik di negara lain, partisipasi lembaga non-komersial dalam pertambangan lebih berbasis pada investasi pasif daripada operasional langsung. Di dalamnya diterapkan standar teknis yang ketat serta menekankan prinsip keberlanjutan, optimalisasi manfaat ekonomi, dan regulasi ketat untuk meminimalkan dampak sosial dan lingkungan.
Aspek lain yang juga menjadi perhatian para peserta diskusi adalah proses dan mekanisme penyusunan RUU Minerba. Para pemangku
kepentingan yang hadir menilai bahwa penyusunan RUU Minerba berlangsung dengan cepat dan minim partisipasi publik. Proses legislasi yang ideal seharusnya melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pelaku industri dan masyarakat sipil, untuk menghasilkan regulasi yang mampu menjawab tantangan sektor pertambangan secara efektif dan komprehensif.
Keterlibatan publik juga memungkinkan adanya masukan konstruktif yang dapat memperkuat substansi regulasi serta meningkatkan legitimasi
kebijakan. Publikasi rancangan regulasi dan Naskah Akademik secara resmi merupakan langkah penting dalam membangun proses legislasi yang partisipatif, transparan, dan berbasis bukti.