Jakarta-TAMBANG. Di Indonesia pengelolaan Gas Metana Batu Bara (GMB) masih relatif rendah. Terhitung dari 2008, pengeboran eksplorasi baru dilakukan di 94 sumur dengan cadangan terbukti sebesar 138 trilion cubic feet (tcf). Cadangan itu banyak ditemui di cekungan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur.
Anggota Dewan Penasehat Himpunan Ahli Geofisika Indonesia, Elen Biantoro menuturkan industri GMB memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Selama ini yang menjadi kendala industri GMB belum berkembang seperti sulitnya mengurus perizinan, tumpang tindih lahan, pengadaan barang dan jasa, serta biaya investasi yang besar sementara harga keekonomiannya masih rendah.
Menurutnya, pemerintah Indonesia harus membuat regulasi sendiri untuk mengembangkan industri GMB. Sejauh ini, ketentuan Kontrak Kerjasama berdasarkan minyak dan gas konvensional yang dinilai kurang cocok bagi industri GMB untuk dikembangkan secara komersial.
“Kami minta perlakukan yang berbeda, selama ini disamakan dengan kontrak konvensional. Seperti izin eksplorasi tidak boleh lebih dari tiga tahun. Untuk menemukan cadangan GMB tidak bisa mengebor satu-dua sumur, harus ratusan,” ungkapnya kepada TAMBANG, di Jakarta, Selasa (5/6).
Ia melanjutkan, melalui Forum Grup Diskusi GMB, para pelaku industri mengusulkan untuk memperbaiki ketentuan PSC yaitu dengan Gross PSC Sliding Scale. Dengan ketentuan itu, salah satunya mengurangi biaya yang dikeluarkan pemerintah. Pemerintah tidak perlu melakukan penggantian terhadap biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor.
“Nanti dilepas saja, terserah para kontraktor itu mau mengebor barapa,” jelasnya. Masukan tersebut, kata Elen masih dalam tahap perbincangan dengan pemerintah.
Ia menjelaskan, di Amerika untuk menemukan cadangan GMB dibutuhkan masa 10 tahun dengan jumlah sumur yang dibor mencapai ribuan. “Saya punya datanya, kalau tidak salah di tahun 80-an. Selama 10 tahun itu regulasinya mengalami beberapa kali perubahan,” jabarnya.
Potensi GMB bisa ditemukan di dekat wilayah pertambangan batu bara. Menurut Elan, di Indonesia potensi GMB diperkirakan mencapai 453 tcf namun yang sudah terbukti baru 138 tcf. Ia menuturkan, sejauh ini yang sudah menemukan cadangan GMB baru dua Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) yaitu Ephindo Energy Pte Ltd dan Virginia Indonesia Company (VICO).
Bersamaan, President Direktur Ephindo, Sammy Hamzah menuurkan untuk melakukan operasi pengeboran sebanyak 94 sumur, investasi yang digelontorkan KKKS mencapai US$600-700 juta.
Untuk emngembangkan industri tersebut, dikatakan Sammy, para pelaku menginginkan dukungan pemerintah, antara lain dalam bentuk pembebasan pajak dalam jangka waktu tertentu alias tax holiday.
Menurutnya, tax holiday sebaiknya diberikan selama tiga hingga lima tahun setelah produksi gas pertama. Ini karena pada saat ini produsen baru akan mendapat cash flow. “Istilahnya untuk menggerakkan rodanya dulu. Kalau sudah bergerak, tax holiday bisa dicabut lagi,” tuturnya.
Ia mencontohkan, di Amerika, Australia, dan China, pemerintahnya memberlakukan ketentuan tersebut. Terbukti, di negara itu industri GMB telah berkembang pesat. Ke tiga negara tersebut, lanjutnya, telah membuktikan bahwa untuk mencapai tingkat komersialisasi industri harus menggebor ribuan sumur.
Terdata, Indonesia memiliki potensi GBM terbesar ke tujuh di dunia yang tersebar di 11 basin coal di Ombilin, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jatibarang, Barito, Kutai, Tarakan, Berau, Pasir, Asam-asam, dan Sulawesi Tenggara. “cadangan terbesar baru di temukan Sumsel sebesar 183 tcf,” tuturnya.
Tercatat, dari 2003, Indonesia telah melakukan riset untuk menemukan potensi gas metana yang terkandung dalam batu bara. Dalam bentuk proyek percontohan di lima sumur uji GBM di Lapangan Rambutan, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan.
Mengutip data dari perusahaan konsultan IHS Energy, sejauh ini cadangan GMB yang sudah terbukti ada di China sebesar 1.200 tcf, India sebanyak 92-168 tcf, Australia 90 tcf, dan Indonesia mencapai 453,3 tcf.