Jakarta, TAMBANG – Teknologi gasifikasi batu bara bawah permukaan atau underground coal gasification (UCG) yang tengah dikembangkan oleh Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara (tekMIRA) Kementerian ESDM Republik Indonesia, mulai dilirik oleh sejumlah pihak, salah satunya Kementerian Batubara atau Ministry of Coal India.
“Peeyush Kumar selaku Direktur Teknologi Kementerian Batubara India meminta Tekmira untuk berkolaborasi dengan melakukan supervisi pengembangan serta ujicoba UCG di dua lokasi di daerah West Bengal dan Rahigajt,” ujar Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Agung Pribadi melalui keterangan resmi, Sabtu (5/9).
Sebelumnya, Puslitbang tekMIRA telah berpengalaman melakukan uji coba teknologi UCG di Sumatera Selatan, dan pada tahun 2019 telah melakukan pra-feasibility studies di Kalimantan Timur.
Portofolio tersebut mengkaji unsur geologi, hidrologi, hidrogeologi, geoteknik dan keekonomian, hingga nilai cadangan batu bara. Saat ini, perkembangan proyek UCG itu telah mencapai tahap konstruksi sebanyak delapan sumur pemantauan air tanah. Targetnya, pada tahun 2023 akan rampung, dan menjadi fasilitas UCG komersial pertama di Indonesia.
Implementasi teknologi UCG sendiri diharapkan akan berkontribusi dalam menambah ketersediaan energi, konservasi sumberdaya alam dan pengurangan biaya energi.
Teknologi ini dinilai cocok untuk diterapkan di Indonesia maupun India. Apalagi kedua negara ini mempunyai kesamaan dalam proporsi cadangan energi fosil, yaitu mempunyai cadangan batu bara jauh lebih besar dibandingkan cadangan minyak dan gas.
Guna menindaklanjuti kerja sama ini, tekMIRA akan melakukan evaluasi dan membuat tahapan pengembangan UCG setelah Kementerian Batubara India mengirimkan data-data geologi terkait rencana lokasi UCG.
Apa itu UCG ?
Sebagai informasi, metode teknologi UCG bekerja dengan melakukan proses gasifikasi di bawah tanah melalui dua buah sumur bor. Satu sumur berfungsi sebagai media untuk injeksi udara atau oksigen, dan yang satu lagi berfungsi sebagai sumur produksi.
Teknologi ini dapat mengurangi permasalahan lingkungan, mengoptimalkan pemanfaatan batu bara yang tidak ekonomis dan sangat memungkinkan untuk menutupi kekurangan pasokan energi yang berasal dari migas.
Detailnya, teknologi ini akan mengekstrak dan mengkonversikan batu bara di bawah permukaan menjadi synthesis gas secara insitu.Teknologi unkonvensional ini tidak memerlukan penggalian batuan penutup dan lapisan batu bara terlebih dahulu.
Selain dapat dimanfatkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik, teknologi non-konvensional ini juga menghasilkan syngas untuk berbagai keperluan seperti bahan kimia industri petrokimia seperti amonia, methanol, dan sebagainya, serta pembuatan BBM/BBG sintentis dan bahan kimia industri.
UCG juga menghasilkan karbondioksida (CO2) sebagai bahan enhance oil recovery (EOR) untuk meningkatkan produksi minyak nasional. UCG. Biaya produksi syngas UCG lebih murah dibandingkan impor LNG.
Teknologi UCG membantu perusahaan batu bara dalam menggunakan batu bara lapisan dalam, yang secara ekonomi tidak layak ditambang. Biaya modal dan operasionalnya lebih rendah dibandingkan gasifikasi batu bara di permukaan. Perusahaan pun dapat mengurangi dampak lingkungan serta biaya reklamasi dan pascatambang karena tidak merubah bentang alam.