Jakarta, TAMBANG – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Igansius Jonan membantah tudingan negosiasi PT Freeport Indonesia (PTFI) dipengaruhi oleh surat mantan Menteri ESDM, Sudirman Said kepada eks Chairman Freeport McMoran, James Moffet.
Menurut Jonan, hasil perundingan Freeport yang berlaku sekarang ini didasarkan atas kesepakatan yang menguntungkan negara. Kesepakatan tersebut meliputi divestasi sebesar 51 persen, kewajiban pembangunan smelter, perubahan Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), dan penerimaan negara harus lebih besar.
“Jadi apa yang ditulis di surat saat pendahulu-pendahulu saya jadi itu tidak dipakai, kita hanya berunding dengan basis baru. Jikalau toh ada pertemuan itu, kan nggak relevan, kan tidak kita pakai juga,” tutur Jonan melalui siaran resminya, Rabu (21/2) malam.
Surat yang dimaksud ialah surat Menteri ESDM Nomor 7522/13/MEM/2015. Surat yang terbit pada tanggal 7 Oktober 2015 itu, dikeluarkan oleh Sudirman untuk menjawab permohonan Moffet terkait perpanjangan operasi PTFI.
Kala itu, publik sempat gaduh. Di tengah proses renegosiasi KK, Sudirman justru memberi sinyal kepastian perpanjangan kontrak PTFI. Surat tersebut dinilai membuat posisi negara dirugikan.
Saat menghadiri sebuah acara bedah buku di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (21/2), Sudirman Said bilang, seandainya surat itu dianggap merugikan negara, maka pihak yang patut disalahkan adalah Presiden Joko Widodo. Sebab, Sudirman membuat surat tersebut atas perintah Presiden.
“Karena saya disuruh buat surat. Dan saat surat sudah jadi, tidak mungkin saya terbitkan begitu saja tanpa ada surat permintaan. Kemudian saya suruh Moffet buat surat permintaan. Jadi, itu memang atas permintaan saya. Kondisi ini memang tidak normal. (Tapi) kalau mau saya disalahkan karena posisi negara semakin lemah, maka salahkanlah yang menyuruh surat itu,” beber Sudirman.
Selain menyebut surat dibuat atas perintah Presiden, Sudirman juga menceritakan kronologis penerbitan surat tersebut. Sehari sebelum surat ditayangkan, tepatnya pada tanggal 6 Oktober 2015, Sudirman dipanggil oleh Presiden. Ia tidak diberi informasi mengenai apa keperluan panggilan itu.
Tapi, setibanya di lokasi pertemuan, ia dibisiki Asisten Presiden untuk menganggap bahwa pertemuan tersebut tidak ada.
“Sebelum masuk ke ruang kerja, saya dibisiki Aspri, pak Menteri pertemuan ini tidak ada. Saya ungkap ini karena ini hak publik untuk mengetahui di balik keputusan ini. Jadi bahkan Sekretariat Negara tidak tahu, Sekretariat Kabinet tidak tahu,” jelas Sudirman.
Menanggapi cerita itu, Menteri Jonan menegaskan, apabila memang pertemuan Jokowi-Moffet benar-benar ada, dan menghasilkan surat 7 Oktober 2015 itu. Maka hal tersebut sudah tidak berlaku karena tidak lagi dijadikan dasar perundingan.
“Dengan ditugaskannya saya jadi Menteri ESDM, perundingan start dari nol. Dan perundingan atau surat sebelum-sebelumnya tidak dijadikan dasar lagi. Kalau seandainya dijadikan dasar, gak mungkin dong kita bisa dapat divestasi 51 persen,” tukas Jonan.
Menurut Jonan, selama ia menjabat sebagai Menteri ESDM, Presiden tidak pernah menerima pimpinan FCX secara khusus untuk membahas masalah Freeport. Pertemuan dengan Richard Adkerson hanya terjadi saat selesainya divestasi 51 persen Freport pada 21 Desember 2018 lalu.
“Presiden tidak pernah menerima Freeport secara khusus di jaman saya. Sampai ditandatanganinya IUPK baru ketemu dengan Presiden, Itu saja,” pungkas Jonan.