Jakarta, TAMBANG – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menegaskan komitmennya untuk terus meningkatkan kualitas industri pertambangan nikel dari hulu hingga hilir. Hal tersebut disampaikan Sekretaris Jenderal APNI, Meidy Katrin Lengkey dalam peringatan HUT ke-8 di Jakarta, Kamis (6/3).
Salah satu pencapaian penting yang telah diraih APNI adalah keberhasilannya dalam mendorong penerapan Harga Patokan Mineral (HPM).
“Selama delapan tahun perjalanan ini, kami telah menghadapi berbagai tantangan dan perjuangan. Salah satu capaian utama APNI adalah mendorong implementasi HPM yang kini telah berjalan. Selain itu, kami juga mengusulkan perbaikan tata kelola dan tata niaga industri nikel melalui regulasi, seperti Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2020,” ujar Meidy.
Meidy juga menyampaikan bahwa APNI berhasil mengubah sistem transaksi penjualan bijih nikel dari yang sebelumnya berbasis cost, insurance, and freight (CIF) menjadi berbasis free on board (FOB). Selain itu, APNI turut mendorong pengajuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) agar memiliki durasi lebih panjang.
“Transaksi bijih nikel yang tadinya berbasis CIF kini telah beralih ke FOB. Kami juga mengusulkan agar RKAB berlaku selama lima tahun, dan akhirnya disetujui untuk tiga tahun,” jelas Meidy.
United Tractors Bukukan Laba Bersih Rp19,5 Triliun Sepanjang 2024
Menurut Meidy, langkah-langkah ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor industri nikel, baik di sektor hulu maupun hilir.
Pada tahun ini, APNI juga mendorong pemerintah, melalui Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), untuk membentuk bursa berjangka Indonesia Metal Exchange (IME). Hal ini dilakukan mengingat Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia.
“Di tahun 2025, kami akan bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan di bawah Bappebti untuk membangun Indonesia Metal Exchange. Sebagai produsen nikel terbesar dunia, Indonesia seharusnya sudah memiliki bursa logam sendiri,” ucapnya.
Selain itu, APNI juga menargetkan pembentukan metodologi pelaksanaan Environmental, Social, and Governance (ESG) sendiri untuk industri nikel nasional.
“Pada tahun 2023-2025, Indonesia mengontrol 63 persen total produksi nikel dunia, ini adalah pencapaian yang membanggakan. Kami juga akan mengembangkan metodologi ESG khusus untuk industri nikel Indonesia,” pungkas Meidy.