HARGA minyak makin menurun. Rabu pagi ini, harga minyak West Texas Intermediate menyentuh harga US$ 48 per barel. Sedang harga minyak jenis Brent masih US$ 51 per barel. Anjloknya harga yang sedemikian besar merupakan hal pertama dalam enam tahun terakhir. Pasar semakin gelisah melihat penurunan yang makin tak terkendali.
Hanya dalam tempo lima hari, harga minyak Amerika, West Texas turun 10% sejak 31 Desember. Penurunan minyak ini diduga kuat karena melimpahnya produksi Amerika. Ekonomi Eropa dan Asia yang belum sepenuhnya pulih membuat kedua benua itu hanya sedikit mengonsumsi minyak.
Turunnya harga juga mewarnai situasi pasar uang. Negara-negara yang penghasilannya didominasi oleh ekspor minyak, mata uangnya anjlok terhadpa dolar Amerika. Demikian pula harga saham perusahaan penghasil minyak ikut anjlok.
‘’Minyak merupakan komoditi yang mengendalikan pasar uang sekarang ini,’’ kata Jeffrey Sherman, Manajer Portofolio DoubleLine Capital LP, yang menguasai aset US$ 64 miliar. ‘’Pasar bersikap realistis melihat pasar dunia yang melambat,’’ katanya.
Minyak mentah jenis Light untuk pengiriman Februari, di Bursa New York harganya turun US$2,11 menjadi US$47,93. Brent harganya menjadi US$ 51,10 per barel.
Para pemilik mobil di Amerika menikmati harga paling murah sejak 2009. Tiap galon bahan bakar sekelas pertamax (3,8 liter) harganya US$ 2,19, atau sekitar Rp 7.200 per liter. Masih lebih murah ketimbang di Indonesia.
Berlimpahnya produksi gas shale di Amerika Serikat menampah pasokan untuk energi jenis lain. Harga gas alam untuk penyerahan di depan turun, mencapai titik terendah dalam dua tahun terakhir, sebelum membalik lagi ke US$2,938 per juta British termal unit.
Para investor perminyakan telah lama khawatir melihat produksi minyak yang digenjot habis-habisan di Amerika, Libya, Iraq, yang kesemuanya membuat pasokan melimpah. Kekhawatiran itu sekarang bertambah, setelah melihat rendahnya permintaan terhadap minyak.
Ilustrasi: Turunnya harga minyak. Sumber: theenergycollective.com