Jakarta—TAMBANG. SETELAH sempat menyentuh harga US$60 per barel, harga minyak utama dunia, Brent, turun menjadi US$ 58,50, sebelum akhirnya naik kembali menjadi US$ 59,01, kemarin. Harga minyak saat ini sekitar separuh dari harga pada bulan Juni, sebagai akibat dari berlimpahnya pasokan dan menurunnya permintaan.
Kejatuhan yang terakhir ini dipicu oleh berita anjloknya aktivitas industri di Cina, konsumen terbesar minyak kedua di dunia. Harga minyak mentah Amerika turun US$ 1,86, menjadi US$ 54,05.
Di saat harga yang terus terjun, OPEC, organisasi yang menghimpun negara eksportir minyak, bersikeras tidak memangkas produksinya. OPEC dewasa ini memasok 40% kebutuhan minyak dunia.
‘’Kami harus melihat pasar secara lebih cermat. Ini akan stabil sebentar lagi,’’ kata Menteri Perminyakan Qatar, Mohammed al-Sada.
Menteri Energi Rusia, Alexander Novak, juga berpendapat sama. ‘’Kalau kami memotong produksi, negara pengimpor justru yang akan menaikkan produksinya. Artinya, kami akan kehilangan pasar,’’ katanya.
Beberapa hari sebelumnya, organisasi Badan Energi Internasional, biasa disingkat IEA, memperkirakan pada 2015 permintaan terhadap minyak akan berkurang. Lembaga pemeringkat Standard & Poor’s juga menurunkan asumsi harga minyak. Minyak Brent diperkirakan mencapai US$ 70 pada 2015, dan US$ 75 pada 2016. Penurunan peringkat ini akibat pasokan yang berlebih dan permintaan yang melemah.
Indonesia, dan negara-negara yang selama ini mengimpor minyak, diuntungkan oleh harga minyak yang murah. Namun pada saat yang sama, negara-negara yang selama ini banyak menikmati untung dari ekspor minyak, mengalami musibah.
Rendahnya harga minyak, ditambah dengan sanksi ekonomi oleh Amerika dan Eropa akibat invasinya ke Ukraina, membuat mata uang Rusia, rubel, terjun bebas. Sejak awal tahun ini rubel melemah 50% terhadap dolar Amerika.
Untuk mengantisipasi melemahnya rubel, Bank Sentral Rusia menaikkan suku bunga dari 10,5% menjadi 17%.
Belum ketahuan dampak dari kenaikan mata uang ini. Yang jelas, Indonesia sudah terkena. Terjadi pelemahan rupiah, akibat investor ramai-ramai melepas dolar di Indonesia, dan memindahkannya ke negara yang menawarkan suku bunga lebih tinggi, termasuk Rusia.
Foto: Instalasi sumur minyak Rusia di Siberia. Sumber foto: www.npr.org