TAMBANG, JAKARTA. UNTUK pertama kalinya dalam harga minyak menembus US$ 50 per barel, kemarin. Kenaikan harga ini berlangsung lebih cepat daripada yang diperkirakan. Kenaikan ini didorong oleh berkurangnya pasokan di Nigeria, Venezuela, serta terbakarnya sejumlah fasilitas sumur minyak di Kanada.
Harga minyak andalan Amerika Serikat, West Texas Intermediate, dan minyak dari Laut Utara, Brent, melewati harga US$ 50 menyusul munculnya laporan bahwa persediaan minyak di Amerika Serikat berkurang. Inilah untuk pertama kalinya harga minyak West Texas melewati US$ 50 sejak Oktober tahun lalu. Februari lalu harganya US$ 26,05 per barel, terendah dalam 13 tahun terakhir. Ambruknya harga minyak ketika itu ikut merontokkan saham di berbagai bursa dunia.
Harga yang menembus US$50 menjadi kabar baik bagi perusahaan minyak, seperti Chevron, dan negara seperti Nigeria yang APBN-nya tergantung pada harga minyak. Negara seperti Nigeria mengharap harga minyak bisa pulih di atas US$100 seperti dua tahun lalu.
‘’Ingat, harga $50 adalah angka panik. Ketika harga turun menembus $50, banyak produsen yang merasa dunia seperti berdarah-darah,’’ kata Tom Kloza, Kepala Analis Energi pada Oil Price Information Service, sebagaimana dikutip CNNMoney. ‘’Jangan bergembira. Ini belum era kebangkitan. Bagi para produsen, ini masih masuk saat gelap,’’ lanjutnya.
Pasar minyak dunia ikut dibantu oleh berkurangnya produksi minyak Amerika Serikat. Faktor lain adalah kesepakatan tidak tertulis di antara Saudi Arabia dan anggota OPEC untuk menghasilkan minyak pada tingkat yang bisa mendorong kenaikan harga.
Tetapi penyebab utama mengapa harga minyak menembus harga $50 hingga enam bulan di depan perkiraan adalah karena berkurangnya pasokan. Citigroup memperkirakan bahwa ledakan pipa di Iraq, Nigeria, dan Colombia membuat pasokan berkurang 1,1 juta barel per hari. Di Nigeria, ledakan itu terjadi akibat serbuan kelompok militan, membuat pasokan 800.000 barel sehari. Kebakaran di fasilitas minyak di Alberta, Kanada, membuat produksi minyak Kanada berkurang 1,1 juta barel per hari.
Krisis politik di Venezuela dan Libya membuat pasokan dari dua negara terakhir ini tetap rendah.
Di sisi lain, permintaan minyak dari India, Cina, dan Rusia, meningkat, mengangkat harga minyak naik. Menurut analisis Citi, permintaan dunia pada kuartal pertama tahun ini naik 1,4 juta barel per hari, melebihi prediksi yang pernah ada. Dengan demikian, cerita bahwa produksi minyak melimpah ruah, membuat harga terus turun, kenyataannya tak seseram yang dibayangkan.
Meski demikian, tak berarti harga minyak akan melejit, kembali ke tripil digit seperti tahun 2014. Goldman Sachs dan Citigroup memperkirakan harga minyak hingga akhir tahun ini hanya di kisaran $60. ‘’Setelah itu, setiap dollar kenaikan akan dicapai dengan susah payah,’’ kata Kloza.
Sebab, setelah harga minyak menembus $60, minyak shale akan kembali berproduksi. Produsen minyak yang bianya mahal juga akan kembali menghidupkan mesin-mesin produksinya. Berdasar hal itu, Goldman Sachs hanya memperkirakan harga minyak pada 2017 akan bertengger di kisaran $45.
Selain itu ada faktor OPEC, yang menurut rencana bertemu pekan depan di Vienna. Organisasi penghimpun negara eksportir minyak ini akan segera bereaksi, begitu harga minyak terlalu murah, terlalu mahal, atau produksi terlalu berlimpah.