JAKARTA, TAMBANG. HARGA minyak diperkirakan bisa menembus US$20 per barel. Harga yang terjadi saat ini diperkirakan bukan titik balik, demikian analisis Citibank, sebuah bank terkemuka dari Amerika Serikat, sebagaimana dimuat koran Australia, Herald Sun, hari ini.
Citibank telah merevisi angka prediksinya dua kali, tahun ini. Harga minyak Brent, minyak acuan dari laut Utara, diramalkan di kisaran US$54, turun dari perkiraan sebelumnya, US$63.
Analis komoditi global, Edward Morse mengatakan, harga minyak bisa menembus S$20 untuk sementara waktu, karena pasokan dari Amerika Serikat terus meningkat, sementara Iran dan Saudi Arabia menawarkan harga diskon demi mempertahankan pangsa pasar.
Bila itu terjadi, yang akan menikmati keuntungan adalah rumah tangga di negara pengimpor minyak, seperti di Indonesia, Australia, Singapura. ‘’Rumah tangga pasti suka, negara importir juga suka. Tapi perusahaan minyak pasti membencinya. Penerimaan negara dari pajak minyak juga akan berkurang,’’ kata Shane Oliver, Kepala Ekonomi AMP Capital, Australia.
Namun Oliver berharap, harga minyak ada di rata-rata US$ 50 per barel, tahun ini.
Harga minyak telah jatuh sekitar 50$ dalam tujuh bulan tahun ini, karena pasokan melebihi permintaan. Harga minyak mentah Brent pernah mencapai US$20 per barel pada 2002.
Selama beberapa pekan lalu harga minyak kembali menunjukkan tanda kenaikan. Tetapi, menurut analis dari Citibank, pasar masih mengalami kelebihan pasokan. Tangki penyimpanan juga hampir penuh.
Yang lebih mengkhawatirkan bagi produsen minyak adalah kehadiran teknologi pemboran formasi serpih (shale), yang membuat produksi minyak meningkat cepat. Ini membuat minyak jenis konvensional, yang selama ini diurusi OPEC, peranannya berkurang. Sehingga muncul ramalan: harga minyak yang murah ini merupakan penanda tamatnya riwayat OPEC.
Sumber foto: blog.internode.on.net