Beranda ENERGI Migas Harga Minyak Akan Dua Kali Lipat pada 2020

Harga Minyak Akan Dua Kali Lipat pada 2020

Houston, TAMBANG. HARGA minyak akan dua kali lipat dibanding saat ini pada 2020. Harga minyak yang rendah saat ini membuat investasi di pemboran berkurang banyak, sehingga banjir minyak di pasaran dalam beberapa tahun ke depan juga akan turun jauh. Pernyataan ini disampaikan Fatih Birol, Direktur Eksekutif International Energy Agency (IEA), kemarin.

 

Fatih Birol mengatakan, harga minyak akan naik secara bertahap hingga mencapai $80 per barel. Pada pertengahan 2014 harga minyak di atas $100 per barel, sebelum kemudian turun cepat hingga di bawah $30 per barel akhir bulan lalu.

 

‘’Harga minyak akan naik, kemudian turun, kemudian naik lagi,’’ kata Birol, sebagaimana disampaikan kantor berita Associated Press. Ia menyampaikan perkiraannya itu pada pembukaan acara konperensi industri energi di Houston, Amerika Serikat. Konperensi itu juga menghadirkan Menteri Perminyakan Saudi Arabia, Sekretaris Jenderal OPEC, Presiden Meksiko, dan Menteri Energi Amerika Serikat, Ernest Moniz, sebagai pembicara.

 

IEA mengeluarkan ramalan baru mengenai pasar energi dunia. Lembaga ini memperkirakan sebanyak 4,1 juta barel tambahan pasokan minyak akan masuk ke pasaran antara 2015-2021. Ini turun jauh dibanding jumlah tambahan minyak yang masuk pasaran di antara 2009-2015 yang mencapai 11 juta barel per hari.

 

IEA berkantor pusat di Paris, dan memiliki 29 anggota negara pengimpor minyak, termasuk Amerika Serikat.  Setahun lalu, IEA meramal, harga minyak hanya akan turun sedikit. Ternyata turunnya harga berlangsung terus-menerus, bahkan menyentuh titik terendah sejak 2003.

 

Para ahli menyepelekan pengaruh produksi minyak shale di Amerika Serikat. Faktor lain yang tak pernah diperhitungkan adalah keengganan OPEC untuk mengurangi produksi. Faktor minyak shale dan ngototnya OPEC mempertahankan tingkat produksi membuat terjadinya banjir minyak di pasaran.

 

Tak ada yang melihat bakal terjadinya banjir di pasar akibat produksi minyak shale. ‘’Faktanya, produksi minyak shale sangat mempengaruhi situasi pasar,’’ kata Neil Atkinson, penyunting laporan IEA yang dikeluarkan Senin lalu.

 

‘’Produsen sudah berpikir, harga minyak di kisaran US$ 100 per barel sebagai sesuatu yang wajar,’’ kata Atkinson. ‘’Ketika harga jauh di bawah US$ 100, banyak yang kaget,’’ lanjutnya. Ia menolak pendapat yang menyatakan, harga rendah ini gara-gara OPEC tak mau mengurangi produksi demi mempertahankan pangsa pasar.

 

Di laporan IEA disebutkan, investasi untuk eksplorasi dan produksi minyak turun terus-menerus, dua tahun terakhir ini. Situasi ini baru terjadi pertama kali dalam 30 tahun terakhir. Produks minyak shale Amerika Serikat akan turun pada 2016 dan 2017. Produksi akan naik lagi bila harga meningkat.

 

Sementara itu, Saudi Arabia, Rusia, Venezuela, dan Qatar, telah mendiskusikan langkah untuk membekukan produksi demi meningkatkan harga, bila produsen yang lain juga melakukan tindakan yang sama. Dalam konperensi di Houston itu, Sekretaris Jenderal OPEC, Abdalla Salem El-Badri mengatakan, pembekuan tingkat produksi merupakan langkah pertama. Bila ini menunjukkan hasil, akan diikuti dengan tindakan lain. El-Badri tak menunjukkan rincian tindakan lain apa yang akan dilakukan.

 

Harga minyak andalan Amerika, West Texas, naik dari US$ 30 per barel menjadi US$ 31,84. Minyak Brent naik 5,1% menjadi $34,69.

 

Harga minyak anjlok 70% sejak pertengahan 2014. BBM juga mengikuti turunnya harga minyak. Rendahnya harga minyak telah membuat industri energi putus asa. Kota-kota yang kehidupannya banyak tergantung pada industri energi, seperti North Dakota dan dua kota di Texas, yaitu Midland dan Odessa, serta Houston, menderita. Penjualan rumah merosot tajam.