Menyelam ke dalam laut keruh, Paci bernafas melalui tabung plastik tipis sambil mengeruk dasar laut untuk mencari timah, salah satu komponen penting dalam smartphone dan tablet yang memberikan kekayaan sekaligus kehancuran pulau dimana ia berada.
Sepertiga suplai timah dunia berasal dari Indonesia, yakni dari pulau Bangka dan Belitung, dimana terdapat ribuan orang yang berani berisiko mengalami cedera serius dan kematian pada tambang timah.
Permintaan untuk bijih logam telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, didorong oleh tingginya konsumsi rakus untuk gadget elektronik terbaru.
Di Bangka, tambang timah kini dikerjakan pada daratan dan sekarang juga pada lepas pantai. Banyak penambang tanpa izin, berlayar di kapal nelayan yang dimodifikasi dengan harapan menemukan deposit timah-timah baru. Mereka sebenarnya sangat sedikit pengalaman menambang, dan hampir tidak memiliki peralatan keamanan (safety equipment; helmet, baju, sepatu, dsb.).
Paci, salah satu penambang ilegal mendapatkan Rp 200.000,- (sekitar USD $ 15) untuk bekerja satu hari di bawah laut. Dibalut kacamata renang dan topi renang dia mengarungi dasar laut, mencari pasir-pasir yang kaya akan mineral dan membawanya ke permukaan.
“Ini adalah pekerjaan yang sangat berbahaya, dan risiko yang besar,” ujar Paci kepada AFP setelah muncul ke permukaan. Ia pun mengakui sebagai kru pertambangan menyorot sedimen gelap untuk memisahkan fragmen timah.
“Tapi apa yang akan Anda lakukan? Ini hidupku, dan ini adalah pekerjaan saya,” tambahnya.
Dia tidak sendirian, terdapat puluhan kru kapal pengerukan di daerah Bangka timur-laut, di tempat itu pula seorang penambang usia 23 tahun tenggelam pada bulan Oktober 2016.
Menurut Indonesia Tin Working Group, organisasi yang terdiri dari perusahaan elektronik, perusahaan timah, badan industri, dan aktivis, diperkirakan setidaknya satu penambang meninggal setiap minggu di Bangka dan Belitung
Seorang penambang lain menyatakan kepada AFP, jika keadaan sedang baik operasi empat orang dapat mengambil 30 kilogram biji timah.
Biji timah melewati banyak pihak sebelum tiba di pabrik pengolahan, dimana setelah diolah di smelter baru dapat di eskpor. Produk olahan tersebut digunakan dalam solder yang mengikat komponen gadget elektronik.
Setengah dari semua timah yang ditambang berubah menjadi solder untuk industri elektronik, data ini didapatkan dari kelompok industri ITRI. Timah pasti berada dalam produk-produk laptop ternama dan layar televisi LED di pasar global.
Walaupun terdapat kerusakan pada lingkungan, dan banyak penambang telah kehilangan nyawa mereka, timah dari Indonesia dianggap “conflict-free” sehingga tidak pembatasan perdagangan.
Munculnya berbagai dampak negatif pada lingkungan, dan masyarakat lokal, perusahaan elektronik kini dibawah tekanan untuk benar-benar memperhitungkan asal-usulnya bahan mineral yang mereka gunakan.
Evert Hassink dari Friends of the Earth Netherlands mengatakan, perusahaan-perusahaan elektronik belum melakukan verifikasi menyeluruh untuk memastikan timah yang mereka gunakan dalam gadget mereka tidak merugikan Bangka.
“Perusahaan bahkan tidak tahu apa yang mereka sourcing,” katanya.
“Mereka menolak untuk benar-benar melihat dan menyelami ke dalam rantai industri bahan baku.”
Sepuluh produsen-termasuk teknologi utama seperti Apple, Samsung, Microsoft dan Sony-adalah anggota dari kelompok kerja timah. Mereka telah berjanji untuk mendukung praktik pertambangan yang lebih aman di Bangka.
Dalam sebuah pernyataan Apple menyatakan bahwa telah menghabiskan “ribuan jam” di Indonesia dalam upaya untuk memperbaiki situasi bagi pekerja dan lingkungan.
Terdapat juga pernyataan, “Pemasok yang tidak bersedia atau tidak mampu memenuhi standar kami akan dihapus dari rantai pasokan kami.”
Seorang juru bicara Samsung mengatakan “berkomitmen untuk terus mengupayakan mendapatkan sumber bahan mineral yang dapat dipertanggungkan”.
Ini semua tentang timah
Seorang wakil untuk kelompok kerja timah mengatakan, ada dua proyek percontohan yang bertujuan untuk meningkatkan keselamatan pekerja dan memulihkan lahan terdegradasi oleh pertambangan.
Yabin Sufianto, presiden dari Asosiasi Eksportir Timah Indonesia, mengakui beberapa perusahaan timah mungkin khawatir untuk berupaya lebih jauh, tapi ia percaya akan ada perubahan dari waktu ke waktu.
“Yang penting sekarang adalah melakukan pilot, sehingga kami dapat menunjukkan ada kemajuan dan itu bukan hanya omongan,” katanya kepada AFP.
Akan tetapi Retno Budi dari Walhi, sebuah kelompok konservasi yang telah memobilisasi demonstrasi besar terhadap penambangan timah, skeptis.
Pedalaman dari Sungai Liat, lubang raksasa dari tambang membentang sejauh mata dapat melihat, gundul tanpa pohon, bagai bekas luka bopeng terlihat dari atas pulau.
“Mereka mengatakan bahwa mereka memulihkan tanah – saya belum melihatnya,” katanya kepada AFP, sambil menulusuri lahan yang hancur.
“Sampai hari ini, hampir tidak ada usaha untuk memperbaiki sesuatu apapun.”
Beberapa minggu sebelumnya ada dua penambang tewas dalam tanah longsor di tambang, katanya.
Nazaruddin bekerja sebagai penyaring timah, pekerjaan yang melelahkan di bawah panasnya sinar terik matahari, tapi hal ini tidak begitu bahaya dibandingkan bekerja langsung pada penambangan darat maupun laut.
“Di sana, mereka tidak berpikir tentang keselamatan,” katanya kepada AFP, sambil menunjuk ke kru peledakan pasir dan batu di bawah tebing curam.
“Ini semua tentang timah, timah, timah.”
Artikel Orisinil oleh Nick Perry AFP