Jakarta-TAMBANG- Elpiji 3 kg yang disubsidi Pemerintah sampai sekarang masih menyisakan masalah. Salah satunya terkait harga yang tidak seragam di seluruh Indonesia. Oleh karenanya menurut Pengamat kebijakan energi Sofyano Zakaria, pemerintah harus melakukan evaluasi secara terus menerus, agar ketidakseragaman harga LPG bisa teratasi.
Sofyano yang juga Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) menyikapi fakta bahwa masyarakat harus membayar LPG 3 kg di atas harga eceran tertinggi (HET). “Pemerintah harusnya mengevaluasi supaya harga bisa seragam se-Indonesia. Soal pricing, harus ada evaluasi terus menerus, bagaimana subsidi ini bisa tepat sasaran,” terang Sofyano usai diskusi bertajuk Menelisik Permasalahan LPG 3 Kg di Hotel Acacia, Senin 23 Maret 2015.
Selama ini ongkos angkut menjadi penyebab ketimpangan harga harus. “Ongkos angkut untuk radius di atas 60 km dari SPBE (Stasiun Pengisian Bulk Elpiji) dipermasalahkan oleh para agen LPG 3 kg,” ujarnya.
Sofyano mengkritisi pemberian kewenangan kepada pemda untuk menetapkan HET. Hal itu dinilai tidak tepat. “Sepertinya ini dilakukan untuk mengakomodir dan meluluskan komplain dari para agen untuk menutupi ongkos angkut tambahan pada radius di atas 60 km dari SPBE, atau filling station tersebut,” tuturnya. Menurutnya, HET seharusnya dipahami sebagai harga akhir dan berlaku pada konsumen akhir. “Seperti harga BBM yang diberlakukan sama di seluruh SPBU di Indonesia,” ujarnya.
Sofyano juga menegaskan penetapan HET ini telah secara tegas diatur dalam Perpres No 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga LPG. Aturan itu harusnya menjadi acuan bagi lembaga-lembaga di bawah Presiden. “Terhadap penetapan HET ini bisa diatur oleh tiga lembaga, yakni Kementerian ESDM, Kemendagri, dan Pemerintah Daerah,” tuturnya.
Terkait dengan itu, Harga EceranTertinggi (HET) pada LPG 3 Kg, seharusnya dipahami sebagai harga akhir atau harga eceran nyata, yang terjadi dan berlaku pada konsumen akhir (end user). “Seperti halnya harga bahan bakar minyak (BBM) yang diberlakukan sama di seluruh wilayah Negara KesatuanRepublik Indonesia (NKRI), namun hal ini tidak berlaku pada transaksi LPG subsidi 3 Kg,” tegas SofyanoZakaria.
Sofyano Zakaria mengatakan penetapan HET pada LPG 3Kg bisa diatur tiga lembaga Kementerian ESDM, Kementerian Dalam Negeri, dan Pemerintah Daerah, padahal kewenangan itu tidak dinyatakan secara tegas dalam peraturan Presiden Nomor 104 tahun 2007, tentang penyediaan, pendistribusian dan penetapan harga LPG yang harus menjadi acuan bagi lembaga-lembaga di bawah Presiden.
Diketahui, pemerintah melalui Kementerian ESDM mengeluarkan Permen ESDM nomor 28 tahun 2008 tentang harga jual LPG 3 Kg untuk rumah tangga dan usaha mikro menetapkan HET LPG 3 Kg sebesar Rp. 4.250.
Selain itu Kementerian ESDM bersama Menteri Dalam Negeri juga mengeluarkan peraturan bersama, Nomor 17 tahun 2011 dan nomor 05 tahun 2011, tentang pembinaan dan pengawasan distribusi tertutup LPG tertentu di daerah. Lalu Gubernur, Walikota atau Bupati juga diberi kewenangan menetapkan HET pada daerahnya masing-masing.
“Dengan banyaknya kewenangan tersebut, pertanyaan nya mana yang dimaksud dengan HET nasional LPG 3Kg? Dan mengapa HET tidak menjadi harga beli nyata konsumen?” ujarZakaria. Harga beli LPG 3Kg oleh masyarakat yang terbukti besarannya “menjadi liar” atau jauh melebihi besaran HET yang ditetapkan pemerintah.
“Rakyat pengguna LPG 3Kg di negeri ini nyaris tidak bias membeli LPG 3Kg dengan harga yang ditetapkan secara sah oleh pemerintah. Mereka membeli rata-rata lebih mahal,” ungkapnya.
Sofyano menjelaskan, jika rakyat membeli LPG 3 Kg dengan selisih harga rata-rata sebesar Rp. 1.000/Kg dari HET yang ditetapkan Bupati atau Walikota, maka setiap tahun rakyat pengguna LPG 3 Kg tanpa disadari harus mengeluarkan uang tambahan sebesar Rp. 5,7 triliun, jika dihitung dari quota atau alokasi LPG 3 Kg sebesar 5,7 juta metrik ton per tahun.
“Jumlah ini berarti sekitar 28 persen dari jumlah subsidi LPG 3 Kg yang diberikan pemerintah (sekitar Rp.21 triliun di tahun 2015). Dan ini suatu jumlah yang fantastis besarnya dan harus dirogoh dari kantong rakyat miskin. Mirisnya hal ini terus berlangsung hingga saat ini,” kata Sofyano.
Di tempat lain Ketua Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika mengatakan LPG 3 kilogram (Kg) sudah menjadi kebutuhan publik paska konversi minyak tanah (Mitan) ke Gas LPG tahun 2007 lalu. Bahkan, LPG 3 Kg yang diberikan subsidi oleh pemerintah menjadi salah satu persoalan baru. Namun, akhir-akhirini terjadi kelangkaan di sejumlah daerah, sehingga pemerintah harus melakukan evaluasi pendistribusian hingga penetapan harga secara global, baik evaluasi Permen ESDM hingga Peraturan Pemerintah Daerah.
Kardaya mengatakan, harus dilakukan evaluasi secara mendetail penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) LPG 3 Kg, untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) hingga untuk daerah-daerah lainnya, sehingga tidak terjadi kesimpangsiuran distribusi dan harga LPG 3 Kg tersebut.
“Kebijakan dan mengelola LPG harus dipikirkan kembali dan jika tidak sesuai dengan prinsip keekonomian saat ini, maka sudah seharusnya dilakukan evaluasi, katanya.
Sementara, Plt. Dirjen Migas, I Gede Nyoman Wiratmaja Puja mengatakan bahwa sebenarnya revisi tetap dilakukan pemerintah setiap tahun, dengan melihat harga patokan Minyak Aramco di Singapura dan lainnya, termasuk sistem keekonomian harga saat jika dibandingkan dengan 7 hingga 10 tahun lalu, saat harga ditetapkan oleh Pemerintah dan volume awal konversi dilakukan.