Beranda Batubara Harga Batu Bara Diperkirakan Masih Tertekan

Harga Batu Bara Diperkirakan Masih Tertekan

 

Jakarta — Beijing, TAMBANG. HARGA batu bara yang melemah menjadi kado natal pahit bagi para pelaku usaha batu bara, di seluruh dunia. Batu bara, yang pernah menjadi rajanya komoditas, mendapat pukulan bertubi-tubi. Pada 12 Desember 2015, sebanyak 195 negara bersepakat di Paris untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, demi menjaga kenaikan suhu dunia di bawah 2 derajat Celsius.

 

Beberapa hari kemudian, perusahaan raksasa di bidang pertambangan, Anglo American, mengumumkan rencana radikalnya untuk menjual hingga 60% asetnya. Termasuk di dalamnya adalah menjual tambang batu bara dan mengurangi 85.000 pegawai. Tindakan ini diniatkan untuk mengumpulkan dana hingga US$ 4 miliar, untuk mengantisipasi bila pelemahan harga terus berlanjut.

 

 

‘’Pasaran global untuk komoditi terus memburuk. Saat ini bukan waktunya untuk bicara bisnis seperti biasa,’’ kata Kepala Eksekutif Anglo American, Mark Cutifani.

 

 

Batu bara untuk pembangkit listrik terus menurun harganya. Puncak harga batu bara termal terjadi pada Januari 2011, yakni US$ 141,94 per metrik ton. Pada Oktober 2015 tinggal US$ 55,89, harga terendah sejak 2008. Pada akhir November, harganya turun lagi menjadi US$ 56,25 per metrik ton.

 

 

Produsen batu bara dan para analis memperkirakan, harga akan terus turun pada 2016. Analis investasi di Citibank pada November 2015 memperkirakan, harga batu bara akan bergerak dari ‘’lemah menuju sangat lemah’’ pada 2016. Harga batu bara termal akan jatuh hingga di bawah US$ 50 per ton. Bahkan mungkin mencapai US$ 45.

 

Produksi batu bara termal didominasi oleh Cina, Amerika Utara, India. Ketiganya menghasilkan 70% dari produksi global batu bara pada 2013. Produksi mereka sebagian besar digunakan untuk keperluan dalam negeri. Mengekspor batu bara biayanya terasa sangat mahal, di saat harga komoditi anjlok seperti saat ini.

 

Krisis batu bara memukul dua eksportir utama batu bara, Australia dan Indonesia. Indonesia saat ini memiliki pangsa 41% pasar ekspor batu bara global, dan Australia mencapai 18%. ‘’Pengurangan pangsa ekspor terjadi karena mengecilnya permintaan batu bara dari Cina,’’ kata analis investasi Bank Morgan Stanley, dalam suratnya kepada para nasabah pada 18 Desember lalu.

 

 

Sebanyak 4,4% pasokan batu bara global dipangkas pada 2015, sebagai dampak anjloknya harga. Produsen batu bara termal dari Indonesia, seperti Adaro Energy, Bumi Resources, dan Harum Energy, semuanya memangkas produksi pada semester pertama 2015.

 

 

Di Australia, tambang batu bara yang dikuasai Glencore dan Anglo American, selama 12 bulan terakhir menyimpan produksinya. Ini dinilai sebagai strategi untuk pelepasan aset.

 

‘’Industri batu bara tengah menghadapi tekanan besar. Penyebab utamanya adalah Cina. Tapi ini bukan satu-satunya penyebab,’’ kata Direktur Eksekutif Asosiasi Energi Internasional (IEA) Fatih Birol, ketika meluncurkan Laporan Pasar Batu Bara Jangka Menengah, pada 15 Desember lalu.

Warga Cina Melintas di Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Batu Bara. Sumber foto: www.slate.com

 

Situasi ekonomi di Cina, serta kesepakatan Paris untuk menjaga suhu bumi, bersama-sama membuat pasar batu bara mendapat tekanan besar.